Semua Bab Bagaimana Denganku: Bab 61 - Bab 70

Tepat pukul dua belas siang, ia akan menghilang dari ruangannya untuk makan siang, entah di kantin atau memesan makanan ke ruangannya, sebuah pemandangan yang langka sebelumnya. Dan tepat pukul lima sore, laptop di mejanya akan mati, dan tas kerjanya akan tersampir di bahunya. Perubahan itu begitu drastis hingga menjadi topik hangat di antara para karyawan.Di pusat perubahan itu, ada Vani Wijaya, sang adik yang kini merangkap sebagai sekretaris eksekutif sekaligus "pengawas kesehatan mental dan fisik" kakaknya. Pagi itu, suasana di kantor terasa sibuk seperti biasa."Pagi, Nona Pengawas!" sapa Varel saat ia masuk dan melihat adiknya sudah sibuk di mejanya. "Laporan dari tim keuangan sudah masuk?""Pagi, Tuan Pasien," balas Vani jenaka. "Laporannya sudah ada di email-mu sejak sepuluh menit yang lalu. Dan jus tiga diva-mu sudah ada di meja. Dan jangan lupa, jam sepuluh nanti ada jadwal telepon dengan Kak Firli, sekadar 'check-in' katanya."Varel hanya menggelengkan kepala sambil terse

Malam Minggu itu, udara di kediaman utama keluarga Wijaya terasa berbeda. Ada sejenis energi antisipasi yang hening, seperti ketenangan sebelum sebuah pertunjukan besar di mulai. Varel dan Firli sengaja datang untuk makan malam bersama Hendra dan Liani. Sebuah ritual akhir pekan yang baru mereka mulai, yang bertujuan untuk terus mempererat kembali ikatan yang sempat renggang.Di kamarnya yang luas dan bernuansa pastel, Vani berdiri di depan lemari pakaiannya yang terbuka lebar. Puluhan gaun, blus, dan celana tergantung rapi, namun baginya, lemari itu terasa kosong. Ia sudah mengeluarkan setidaknya lima set pakaian berbeda, mencobanya, lalu melemparkannya kembali ke atas ranjang dengan frustrasi."Arrrgh! Aku tidak punya baju!" keluhnya pada diri sendiri.Pintu kamarnya terbuka pelan. Liani, ibunya, masuk dengan membawa nampan berisi segelas jus mangga dan beberapa potong kue. Wajahnya menunjukkan senyum seorang ibu yang tahu persis apa yang sedang terjadi."Anak gadis Mama sedang b

"Untukmu," kata Adam saat Vani membuka pintu. "Hanya untuk mencerahkan malam yang sudah cerah karena senyummu."Vani tersipu, menerima bunga itu dengan perasaan campur aduk. "Terima kasih, Mas Adam. Kamu tidak perlu repot-repot.""Sama sekali tidak repot," jawab Adam sambil membuka pintu mobil untuknya. "Sudah siap?""Siap," jawab Vani, mencoba menyamai antusiasme di suara Adam, meski hatinya terasa terbelah.Perjalanan menuju restoran di isi dengan obrolan yang ringan dan menyenangkan. Adam adalah seorang pencerita yang ulung. Ia tidak membicarakan bisnis atau hal-hal berat. Ia justru bercerita tentang pengalaman lucunya saat pertama kali mencoba berselancar di Bali."Jadi, Nona Pengawas," kata Adam, memulai dengan godaan andalannya. "Apa ada aturan khusus untuk kencan pertama yang harus aku patuhi? Jam malam sudah jelas dari Tante Liana. Apa ada lagi? Batas maksimal topik obrolan soal pekerjaan mungkin?"Vani tertawa, dan untuk sesaat ia bisa melupakan kegelisahannya. "Tidak ada.

Senin pagi datang dengan kejam, seperti yang selalu dilakukannya. Bagi sebagian besar karyawan di D Angkasa Corp, itu adalah awal dari seminggu yang sibuk. Namun bagi Vani Wijaya, Senin itu terasa berbeda. Ada kesunyian yang aneh dan memekakkan telinga.Seperti biasa, ia tiba di kantor lebih dulu dari Varel. Ia menyalakan komputer, memeriksa jadwal, dan menyiapkan semua dokumen untuk rapat pagi kakaknya. Namun, ada satu hal yang hilang. Vas bunga kecil di sudut mejanya kini kosong. Tidak ada lagi buket aster putih segar yang menyambutnya."Loh, Van, hari ini nggak ada kiriman bunga?" sapa Danise, sekretaris lain yang mejanya tak jauh darinya, saat ia datang. "Tumben sekali. Penggemar rahasiamu lagi cuti, ya?"Vani mencoba tertawa, namun yang keluar hanyalah senyum kaku. "Mungkin dia sadar aku alergi serbuk sari, Mbak," jawabnya, nadanya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan."Oh, masa? Sayang sekali, padahal bunganya cantik-cantik," sahut Danise, tidak menyadari nada di balik

Jumat pagi terasa sibuk dan penuh energi. Semua orang seolah berlari mengejar tenggat waktu sebelum akhir pekan tiba. Semua orang, kecuali Vani Wijaya. Di tengah hiruk pikuk kantor, dunianya terasa sunyi. Vas bunga di mejanya masih kosong. Layar ponselnya gelap tanpa notifikasi personal. Keheningan dari Adam terasa semakin memekakkan telinga dari hari ke hari."Pagi, Van," sapa Varel saat ia tiba, meletakkan tas kerjanya. "Nanti siang ada meeting virtual penting dengan klien dari Singapura jam satu. Tolong siapkan semua materi presentasi yang sudah kita revisi kemarin, ya.""Pagi, Mas. Siap," jawab Vani singkat, suaranya datar.Varel berhenti sejenak, menatap adiknya. "Kau masih murung? Ini sudah hari Jumat. Seharusnya semangat menyambut akhir pekan.""Hanya sedikit lelah, Mas. Tidak apa-apa. Nanti materinya aku siapkan," jawab Vani, matanya tak lepas dari layar komputernya, menghindari tatapan kakaknya.Varel menghela napas. Ia tahu adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia juga