All Chapters of PELAN PELAN SAYANG: Chapter 201 - Chapter 210

“Bagus banget baru pulang jam segini?” ucap Gendis dengan nada tinggi, matanya menatap tajam ke arah Rain yang baru keluar dari ruangan laundry tanpa mengenakan pakaian. “Oh, Sayang. Tadi saya makan dulu sama Angga. Jadi maaf kalau pulangnya lama,” ucap Rain pelan sambil sedikit menunduk, mencoba menenangkan suasana. “Kok nggak pakai baju?” tanya Gendis, nada suaranya penuh selidik. “Anu… panas banget tadi, terus saya sekalian cuci baju dulu,” jawab Rain cepat sambil melangkah pelan, berusaha menghindar dari pertanyaan lebih lanjut. “Mau ke mana? Aku belum selesai tanya-tanya, loh!” seru Gendis, kemudian mengejar suaminya yang pura-pura tidak mendengar hingga masuk ke kamar. “Sayang!” bentak Gendis dengan suara lantang sambil berkacak pinggang, melihat Rain yang pura-pura tengah tertidur di kasur. “Bangun nggak?” ujarnya sambil mencubit lengan Rain dengan kesal. “Sayang, maaf… tapi saya ngantuk banget. Kita tidur aja, ya,” ucap Rain setengah berbisik, memejamkan matanya

“Tapi, bagaimana status mereka di perusahaan ini, Pak? Apa kita anggap mengundurkan diri?” tanya staf HRD hati-hati. “Ya... karena mereka nggak ada kabar. Mereka pikir ini perusahaan bapaknya?” ucap Rain dengan nada datar namun dingin. “Ini udah mendekati hari ketiga mereka nggak ada kabar. Dan... kalau ada keluarga mereka yang nyari, kasih tahu aja kalau ketiganya sudah mengundurkan diri.” “Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu.” “Ya, silakan. Dan buat peraturan tambahan. Tidak masuk melebihi dua hari tanpa keterangan, artinya mengundurkan diri,” ucap Rain tegas sambil menatap lembar laporan di mejanya. “Siap, Pak Rain.” Ruangan kembali hening setelah HRD keluar. Rain melirik jam di tangannya—sudah waktunya makan siang. Ia menghela napas sebentar lalu mengambil ponselnya. “Sayang?” panggil Rain lewat sambungan telepon. “Apa? Sana makan dulu. Kamu tuh lagi aku hukum,” ucap Gendis ketus dari seberang, sambil terdengar suara kunyahan makanan. “Iya, maaf, Sayang. Tap

“Nggak gitu, Sayang… Aku cuma takut kamu kesepian aja. Tapi aku lebih suka kalau kamu di kosan nungguin aku pulang,” ucap Angga pelan, mencoba tersenyum meski gugup. “Males, ah. Kamu bikin sebel!” ucap Shasha sambil melipat tangan di dada dan memalingkan wajah. “Maaf, Sayang… tapi ini,” Angga menyerahkan amplop kecil berisi uang tunai ke pangkuan Shasha, “uangnya buat kamu semua kok. Kamu yang simpen uang hasil dinas luar aku nanti. Biar…” ucapnya lirih. “Biar apa?” tanya Shasha, nadanya masih dingin. “Biar aku bisa melamar kamu jadi istri aku,” ucap Angga lembut, kali ini tanpa senyum—hanya ketulusan yang terdengar dari suaranya. Shasha terdiam. Matanya perlahan melembut, genggaman pada amplop itu menguat. Mobil melaju perlahan di bawah langit sore yang mulai oranye. “Duit aja, cepet banget…” ucap Angga sambil menahan tawa, mencoba mengalihkan ketegangan yang masih tersisa di antara mereka. “Apa kamu bilang?” seru Shasha dengan nada tinggi, matanya menyipit tajam ke arah

“Itu... itu bukan urusan kita. Lagian, ngapain juga nonton berita kayak gini,” ucap Ardi cepat sambil meraih remote dan mematikan televisi. Ia lalu bergegas menuju kamar, langkahnya sedikit terburu-buru. “Mas? Pesan makanan, ya?” seru Wanda dari ruang makan, suaranya lembut tapi terdengar sedikit khawatir. “Nanti aku beli aja. Kamu tunggu di sini,” sahut Ardi yang berusaha menutupi kepanikannya. Tangannya sibuk mencari kunci mobil di atas meja. “Aku ikut, dong…” pinta Wanda dengan nada manja. “Kamu di rumah aja. Makan cemilan dulu sambil nungguin aku. Aku nggak lama kok, cuma beli makanan deket sini doang,” ujar Ardi sambil memaksakan senyum. Matanya tak benar-benar menatap istrinya, seolah ada sesuatu yang disembunyikan. “Jangan lama, ya,” ucap Wanda lembut sambil mengantar suaminya ke garasi. Ia menatap punggung Ardi yang perlahan menghilang di balik pintu, dadanya terasa aneh—entah kenapa, firasatnya tidak enak. ••• Sementara itu, Rain dan Angga sudah berada di dalam

“Pa, Wanda tadi telepon. Dia bilang mau pulang,” ucap ibunya pelan malam itu, suaranya terdengar cemas saat mereka bersiap untuk tidur. “Pulang? Mereka pindah ke mana? Kenapa Wanda mau pulang, Ma?” tanya ayahnya sambil menatap istrinya, nada suaranya mulai khawatir. “Mama juga nggak tahu. Mama udah tanya dia di mana, tapi dia nggak kasih tahu,” jawab ibunya dengan napas berat, kedua tangannya menggenggam ujung selimut. “Sama Ardi, kan?” tanya ayahnya lagi, kali ini lebih serius. “Iya, tapi...” suara ibunya melemah. Ia menunduk, ada rasa tidak enak yang tiba-tiba menyelip di dadanya. “Apa ada masalah ya, Pa? Mama jadi kepikiran...” ucapnya lirih, matanya mulai berkaca-kaca, tak tenang memikirkan putrinya. ••• Sementara itu, di waktu yang sama, Rain dan Angga tiba di penginapan tempat Ardi bersembunyi. “Pak, harus hati-hati. Ramai,” ucap orang suruhan Rain saat mereka masih di dalam mobil. “Oke. Kalian jaga di sini. Saya sama Angga masuk. Lantai berapa?” tanya Rain sambi