Lahat ng Kabanata ng PELAN PELAN SAYANG: Kabanata 271 - Kabanata 280

Di dalam kamar mandi, kejutan Rain dan Angga telah mengubah gairah menjadi teror yang mencekam. “Si-siapa mereka?” ucap Juan, kebingungan dan terlihat panik. Ia mondar-mandir di dalam kamar mandi itu sambil berkacak pinggang, mencari celah. “Sialan! Dia masih hidup!” ucap Maya, kaget dan kebingungan melihat Rain. Matanya membelalak penuh kengerian. “Ngomong apa, sih, mereka?” tanya Angga, sambil menatap heran Juan dan Maya dari luar kamar mandi. “Kumur-kumur,” ucap Rain, sambil tersenyum dingin menatap kedua wajah yang tampak pucat itu. “Hendra!” teriak Maya, memanggil anak buahnya yang sudah menjadi mayat di luar. Suaranya bergema putus asa dari dalam kamar mandi. “Oh, namanya Hendra…” ucap Angga, sambil mengangguk menatap Rain. “Yang kepalanya udah hilang tadi? Ooh…” ucap Rain, sambil mengangguk dengan nada meremehkan. “Bajingan! Kalian mau apa dari aku!” ucap Maya, penuh amarah dan ketakutan. Ia segera meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Juan pun demikian, ia s

“Jangan! Juan, kamu gila!” ucap Maya, penuh rasa takut dan panik di wajahnya, meronta di bawah tubuh Juan. Suasana di kamar itu mencapai titik nadir, teror Rain telah mengubah Juan menjadi monster yang membela diri dengan mengorbankan Maya. “Ayolah, kapan lagi, kan, lihat hati yang sebenarnya hati?” ucap Angga, sambil tersenyum dengan tatapan matanya mengarah pada buku novel yang ia baca, menikmati ironi kejam itu. “Juan, di kehidupan ini, kita cuma ada dua pilihan: dimakan atau memakan. Dan Maya? Dia sudah pernah merasakan semuanya, terutama memakan,” ucap Rain, sambil tersenyum menatap Juan lalu beralih pada Maya. Juan perlahan-lahan mulai meraih pisau yang tertancap di ranjang. Maya, dengan gerakan cepat dan menggunakan satu tangannya yang sengaja dibiarkan Rain tak terikat, ia gunakan untuk merebut pisau dari tangan Juan. Terjadilah aksi perebutan pisau yang tentunya sangat berisiko tinggi. “Hahaha!” Angga tertawa terbahak-bahak melihat Maya dan Juan yang tengah merebut

Gendis berdiri di depan pintu kamar mandi, memandangi Rain yang tengah membersihkan diri. Rasa penasaran bercampur kekhawatiran. “Tapi… kenapa…” ucap Gendis pelan pada dirinya sendiri, tampak bingung sambil memandangi tubuh Rain yang tengah basah diguyur air dari shower. “Sayang… kamu enggak kenapa-kenapa, kan?” tanya Gendis, yang tak sengaja melihat goresan panjang di lengan suaminya itu. “Enggak kenapa-kenapa, Sayang,” ucap Rain, sambil tersenyum menenangkan dan membasuh tubuhnya. “Tapi… itu sakit?” tanya Gendis pelan, masih berdiri di depan pintu kamar mandi, matanya penuh kekhawatiran. “Sedikit, cuma perih,” ucap Rain, menatap Gendis dengan senyuman yang menggoda. Ia kemudian menarik tubuh istrinya ke dalam kamar mandi. “Temani saya,” ucap Rain. Perlahan, ia membuka piyama seksi yang Gendis kenakan hingga piyama itu melorot dan menampakkan tubuh seksi istrinya. “Umm…” Gendis terbuai oleh kecupan Rain. Rain melumat bibirnya dengan penuh gairah. “Saya sudah lama engga

Angga dan Shasha tiba di kosan. Lampu jalanan yang remang-remang menyambut mereka. “Udah jam 2 malam,” ucap Angga, setelah mereka memarkirkan mobil di depan kosan. Ia melirik jam di dasbor. “Sayang, kamu capek nggak?” tanya Angga pada Shasha yang duduk di bangku kemudi. “Nggak, kok. Ayo, Sayang. Kita tidur di kasur imut kita lagi,” ucap Shasha, sambil tertawa kecil menatap Angga. Ada kelegaan dalam suaranya. “Enakan di hotel atau di sini?” tanya Angga, sambil tersenyum. Ia membuka safety belt Shasha, lalu miliknya dengan satu tangan. “Enaknya kita berdua terus,” ucap Shasha, yang kemudian bersama Angga, keluar dari mobil. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju kamar kosan. Tiba di dalam kamar kosan, Shasha membantu Angga membuka pakaiannya dengan hati-hati. “Nanti aku layani kamu, Mas. Jangan terlalu aktif dulu, ya,” ucap Shasha. Ia menjinjit saat Angga menunduk mengecup bibirnya. “Tapi masih bisa bikin anak, Sayang….” ucap Angga, sambil tersenyum nakal menatap Sha

Bunyi kecupan Rain pada perut Gendis, membuat Gendis tersenyum dan mengusap rambut suaminya itu dengan lembut. “Udah berasa keras banget perut kamu, Sayang,” ucap Rain, saat merasakan perubahan pada perut Gendis. Pagi itu, di kamar apartemen, Rain dan Gendis menikmati momen mesra di tengah kehangatan selimut. “Tapi belum buncit banget, nih. Aku enggak sabar lihat perut aku gede, Mas…” ucap Gendis, antusias. “Dua bulan lagi, perut kamu gede, kok, Sayang,” ucap Rain, yang kemudian mengecup perut istrinya dengan lembut dan mengusapnya. “Nanti kita minta dokter lain aja, ya. Nggak mungkin saya minta teman saya lagi buat periksa. Dia pasti kaget kenapa saya masih hidup,” ucap Rain, sambil tersenyum menatap Gendis, membahas rahasia mereka berdua. “Apa… dokter lain ada yang nggak kenal sama suami aku?” tanya Gendis, sambil tersenyum genit. “Umm…” Rain berpikir sejenak. “Kayaknya, sih… terpaksa aku masuk ke ruang praktik mereka sendirian, Mas,” ucap Gendis dengan cemberut, men