All Chapters of PEMBALASAN DENDAM ZENITH: Chapter 61 - Chapter 70

Malam itu, setelah pelelangan yang menguras emosi dan finansial berakhir, Aurora Atremides menepati janjinya. Di dalam keheningan Rolls-Royce Phantom hitamnya yang meluncur tanpa suara menembus jalanan Harmonia, tercipta sebuah dunia kecil yang terisolasi dari hiruk pikuk di luar. Aroma kulit mahal dan parfum lembut Aurora mengisi udara.Clive duduk diam di sampingnya, menatap lampu-lampu kota yang berlarian di kaca jendela. Di dalam saku jasnya, kotak stasis berisi Ginseng Ungu terasa berat, sebuah beban harapan sekaligus pengingat akan pertempuran yang baru saja ia menangkan.Di sampingnya, Aurora mengamatinya dalam diam. Ia melihat profil wajah Clive yang tampan, yang kini tampak lebih rileks setelah ketegangan di pelelangan mereda. Rumor mengatakan Aurora Atremides sedingin badai salju, batin Clive, merasakan tatapan gadis itu. Ternyata rumor hanya rumor. Di dekatnya, Aurora tidak terasa dingin. Ia terasa... penasaran. Dan ada sisi lain dari dirinya yang lebih lepas, yang tidak ia

Clive dan Aurora benar-benar bersenang-senang di lautan cahaya dan tawa yang bernama Harmonia Light. Untuk beberapa jam yang berharga, Clive membiarkan dirinya lupa. Ia lupa akan dendam, lupa akan Leiva, lupa akan Ashura. Ia membiarkan dirinya menjadi pemuda 23 tahun biasa, tertawa saat Aurora menjerit di wahana rollercoaster tertinggi, dan mencoba lalu gagal total memenangkan sebuah boneka di stan permainan lempar gelang.Namun, di balik setiap senyum dan tawanya, inderanya yang telah ditempa di Kuil Surgawi tidak pernah beristirahat. Matanya terus memindai kerumunan secara naluriah. Lima... tidak, sekarang ada enam. Ia merasakan kehadiran mereka seperti titik-titik dingin di tengah peta panas keramaian. Mereka tidak mendekat. Mereka menjaga formasi. Terlalu profesional untuk preman biasa. Ini bukan orang-orang biasa yang mencari gara-gara. Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih terorganisir.Meskipun begitu, ia tidak membiarkan kewaspadaannya merusak malam Aur

"Aurora, tolong mundurlah," kata Clive, suaranya tenang namun mengandung perintah yang tak terbantahkan. "Jangan terlalu dekat denganku. Aku tidak ingin kau terluka oleh mereka." Ia melirik ke arah sebuah pohon magnolia besar yang rimbun. "Bersembunyilah di belakang pohon itu dan jangan keluar, apa pun yang terjadi."Aurora menatapnya dengan mata terbelalak, wajahnya pucat karena syok dan takut. Ia ingin membantah, ingin tetap di sisinya, tapi tatapan mata Clive yang kini berubah menjadi sangat dingin membuatnya membeku. "Tapi, Clive..."Clive menoleh ke arah Aurora, dan untuk sesaat, topeng dinginnya sedikit retak. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang menenangkan. "Tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat untukmu."Kepercayaan dalam suara itu, meskipun kontras dengan bahaya di sekeliling mereka, sudah cukup. Aurora mengangguk kaku, lalu dengan cepat berlari menjauh dari Clive, menuju pohon besar yang ditunjuknya.

"Aku bebas!!! Hahahaha!"Suara tawa itu bukan lagi tawa Clive. Itu adalah suara ganda yang menggema, serak dan kuno, penuh dengan kebahagiaan dari kebebasan yang telah lama terbelenggu. Saat tawa itu meledak, ledakan energi ungu gelap yang masif ikut meledak dari tubuh Clive, menciptakan gelombang kejut yang dahsyat. Aurora, yang masih terpaku ngeri, terlempar ke belakang oleh hembusan angin yang ganas itu, berguling di atas rumput sebelum menabrak sebuah pot bunga besar.Wajah yang berdiri di tengah taman itu tetaplah wajah Clive Zenith, tapi jiwa di dalamnya telah berganti. Kesadarannya bukan lagi miliknya. Pupil matanya kini telah berubah sepenuhnya, menjadi celah vertikal seperti mata seekor kucing predator, bersinar dengan cahaya merah darah yang lapar. Kuku-kuku di jemarinya memanjang dalam sekejap, menjadi setajam dan sekeras obsidian.Ashura memandang sekeliling, menghirup udara malam Harmonia seolah itu adalah anggur terbaik. Setiap langkah kakiny

Perjalanan menembus gelapnya malam kota Harmonia terasa sunyi di dalam kepompong kemewahan Rolls-Royce Phantom itu. Di luar, lampu-lampu kota yang gemerlap melesat menjadi garis-garis cahaya, sebuah simfoni kehidupan yang tak terjamah. Di dalam, hanya ada suara napas mereka berdua. Clive bersandar di jendela yang dingin, matanya terpejam, mencoba mengatur kembali aliran Chi di dalam tubuhnya yang kacau balau. Setiap tarikan napas terasa seperti mengangkat beban berat. Aurora duduk di sisinya, tidak berbicara, hanya mengamatinya dengan tatapan cemas. Ia melihat pucat di wajah Clive di bawah cahaya lampu jalanan, melihat noda darah yang mulai mengering di kemeja hitamnya, dan merasakan getaran samar dari kelelahan yang luar biasa dari pria di sampingnya.Mobil itu akhirnya melambat dan berhenti dengan mulus di depan lobi Hotel Imperial Palace yang megah.Saat itu juga, para pengawal hotel yang berjaga di pintu masuk—mengenali plat nomor khusus keluarga Atremides—lang