All Chapters of Gairah Liar Paman Tiriku: Chapter 61 - Chapter 70

Sinar matahari menembus celah tirai, menyinari mata Maira yang masih terpejam. Perlahan Maira bergerak agar sinar itu tak mengganggu matanya dan kembali tidur. Namun, saat tangannya menyentuh kasur mata Maira pun ikut terbuka ketika tak menemukan Nathan di sana. “Kemana dia pergi?” gumam Maira. Matanya melihat ke sekeliling memastikan jika pria itu memang tak berada di kamarnya. Perlahan Maira beranjak dari ranjangnya. Seketika selimut yang menutupi tubuhnya luruh ke lantai menampilkan tubuh polos yang dihiasi bercak merah di dada dan di pahanya. “Argh sial, dia benar-benar brengsek!” Maira terus memandangi tubuh polosnya di depan cermin. Ingatan malam itu pun terlintas begitu saja saat Nathan mulai mencumbunya dengan brutal. “Ingat Maira jangan pernah tergoda dengan Nathan lagi. Anggap saja malam itu kamu mengakhiri malam indah yang sudah terlewati,” ucapnya meyakinkan diri agar tak tergoda dengan Nathan meski tubuhnya sudah di jamah lagi oleh mantannya itu. Dengan cepat Mair

Tak terasa mobil yang Nathan kemudikan sampai di halaman rumahnya. Sesaat dia berdiam diri di mobil mengingat apa yang sudah dia lakukan untuk Maira. Entah mengapa saat mendengar Maira sakit Nathan segera membelikan obat untuknya, padahal dia tahu jika wanita itu sedang menghindar darinya. “Dia benar-benar mencoba menghindariku,” gumam Nathan. Dia memeriksa ponselnya melihat jika semua pesannya ke Maira hanya ceklis satu, bahkan panggilannya pun dialihkan. Perlahan Nathan pun keluar dari dalam mobil saat Selly mengetuk kaca mobilnya. “Ada apa?” tanya Nathan datar. “Maaf, aku hanya memastikan kamu ada di dalam karena sedari tadi mobil ini berhenti kamu nggak kunjung keluar,” jawabnya. Bukannya menjawab Nathan malah pergi meninggalkan Selly begitu saja. Tanpa dia sadari Selly mengikuti Nathan berjalan masuk ke dalam rumah. “Kamu sudah makan?” tanya Selly berjalan mendahului— menghentikan langkah tunangannya itu. “Aku belum makan,” ucap Nathan karena memang dia belum makan seda

Hembusan angin menerpa tubuh Nathan yang polos. Semua tubuhnya terasa dingin dan kaku. Perlahan Nathan membuka matanya, sprei merah membuatnya terperanjat dari tidurnya.“Dimana aku?” gumamnya.Mata Natha melihat sekeliling, sesaat dia bernafas lega karena itu adalah kamarnya di apartemen lalu siapa yang mengganti sprei merah itu?Tangan Nathan memijat pelipisnya, sudut matanya menangkap kakinya yang telanjang. Betapa terkejutnya Nathan saat melihat tubuh polosnya.“Argh, sial,” umpatnya beranjak dari ranjang.Nathan mengambil kimono yang ada di lemarinya lalu keluar dari kamar. Matanya terus mengamati sekeliling, tidak ada keanehan di sana.“Siapa yang membawaku ke sini? Jangan-jangan ….”Meski tidak yakin tapi Nathan harus memastikan jika orang yang membawanya ke apartemen itu adalah Maira. Iya hanya Maira yang tahu jika apartemen itu miliknya.Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung. Nathan kembali mengulang panggilan tersebut saat teleponnya tak kunjung diangkat oleh Doni

Dinginnya udara malam tak mengenyahkan Maira dan Nathan yang sedang menikmati pemandangan dari balkon kamar. Sesekali keduanya menyeruput wine sambil menatap pemandangan yang tersaji di sana “Kira-kira apa lagi yang dibahas keluargamu?” tanya Maira tanpa menoleh ke arah Nathan. “Paling membicarakan pernikahanku atau mungkin pernikahan kamu dan Devan,” jawab Nathan sekenanya. Maira mengangguk paham. “Pasti menarik, mereka terlalu antusias dengan pernikahan.” Nathan meneguk habis wine yang ada di gelasnya. “Haruskah kita kabur dari sini?” “Kali ini aku nggak bisa kabur dari sini.” “Kenapa?” tanya Nathan penasaran. Maira menghela nafasnya. “Karena aku nggak mau kehilangan harta peninggalan Ibuku. Aku nggak mau semua hartanya dinikmati oleh wanita yang nggak pernah hidup susah sama Papa.” Nathan hanya diam, Maira tahu betul saat ini mungkin pria yang ada di sampingnya sangat kesal atas ucapannya itu. “Wanita itu berwajah malaikat tapi berhati iblis. Mungkin bagimu dia k

Lantunan musik relaksasi terdengar di telinga Maira, dia mencoba untuk menenangkan diri dengan mendengar musik dari earphone yang terhubung ke ponselnya.Butuh waktu untuk Maira menenangkan diri sebelum bertemu dengan Devan. Dia yakin pria itu akan berpikiran yang bukan-bukan akan dirinya.“Sudah lama nunggu?” tanya Devan yang tiba-tiba saja muncul.“Sekitar setengah jam yang lalu,” jawabku.Sesaat keduanya terlihat canggung, tapi sedetik kemudian Maira mulai bersuara.“Maaf.”Devan menoleh ke arah Maira. “Maaf untuk apa?”Helaan nafas terdengar begitu berat. “Maaf atas semua yang telah kamu dengar atau kamu lihat.”Devan tertunduk lesu, sedangkan Maira mulai gusar dengan apa yang akan dikatakan pria yang ada di hadapannya.“Apapun yang terjadi pernikahan kita akan tetap berlangsung.”“Ap-apa?” tanya Maira bingung.Devan mengangkat kepalanya. “Aku mencintaimu Maira, jauh sebelum kita pertama kali bertemu.”Sudut alis Maira terangkat tak mengerti dengan apa yang dikatakan Devan.“Mungk