All Chapters of Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam: Chapter 301 - Chapter 310

Gerakan tiba-tiba dari Amory, membuat Ben membongkar kebohongannya lebih jauh lagi. Kaget dengan serangan itu, Ben dengan otomatis mengangkat tangan, melemparkan serangkum api pada Amory. Tapi tentu Amory bisa menghindarinya, Amory berputar di udara, dan api Ben meluncur menghantam langit-langit ruangan itu. Memercikkan bunga api ke segala arah. Amory tak peduli dengan semua itu, dan kembali menyerang Ben. Rad mengeluh dalam hati saat melihat itu. Masalahnya kali terakhir dirinya bertarung dengan Ben, ada bangunan yang luluh lantak. Tapi bangunan itu terpisah dari istana utama. Jika saat ini sampai terjadi hal yang sama, maka akan banyak orang yang terancam. Menimbang hal itu, Rad berlari menghampiri Bastien, yang kali ini hanya bisa memandang saat Ben dengan panik berusaha menghindari serangan Amory. Gerakan mereka pasti dirasa terlalu cepat bagi Bastien. “Kau cepat pergi dari sini!” Rad berteriak, dan Bastien menoleh. Rad menunjuk Alex, menyuruh Bastien pergi bersamanya. Tapi

Bree tersentak dan membuka mata, lalu merasa kembali berada dalam mimpi buruk, karena hanya putih saja yang tertangkap matanya. Bree seperti kembali ruangan yang membuatnya hampir gila itu. “Tenang kau tak kembali ke sana. Kita ada di ruangan yang hampir mirip, tapi berbeda.” Bree menoleh, mencari asal sahutan itu. Ara duduk di kursi yang berwarna putih, di samping meja yang berwarna putih. Dua cangkir yang ada di atas meja juga berwarna putih. “Bagaimana keadaanmu? Apa tidurmu nyenyak?” tanya Ara. “Ya, seperti mati,” kata Bree. Dia benar-benar di tidur nyenyak tanpa bermimpi, tidak mengingat apapun lagi. “Bagus. Kalau begitu aku rasa kau siap." Ara menunjuk kursi satu lagi yang masih kosong di depannya. “Duduk dan makanlah dulu.” Bree melangkah dan duduk di sana. Cangkir di depannya berisi susu dan madu. Perut Bree sangat lapar --dua hari dilewatinya tanpa makan, jadi meminum susu hangat itu sekali teguk. Dan merasa aneh karena perutnya terasa nyaman, tidak kenyang penuh,

“Berapa lama lagi?” Amory tentu tidak berminat untuk menjadi lebih sabar. Kesabarannya hanya bertahan tak lebih dari sepuluh menit setelah Abel menghilang. “Aku tidak tahu, Mere. Aku harap sebentar lagi.” Rad juga tidak punya banyak persediaan sabar saat menunggu, tapi sumbu sabarnya masih lebih panjang dari Amory. Jejak kaki yang Amory kini terlukis jelas, membentuk alur di atas salju, karena dia sejak tadi mondar-mandir gelisah. “Mereka punya kekuatan menghilang, seharusnya tidak selama ini jika hanya ingin menjemput saja!” Amory belum berhenti mengeluh. “Aku yakin mereka masih butuh bicara dan lain sebagainya. Kau tahu sendiri Sorrel akan selalu mencoba untuk memperpanjang pembicaraan.” “Orang tua cerewet itu.” Setelahnya, Amory menghabiskan beberapa menit untuk mengomel tentang Sorrel. Rad hanya memandangnya, tidak berkomentar lebih lanjut. Melihat ibunya mengomel seperti ini, Rad merasa sangat kagum pada ayahnya. Rad akan menobatkan ayahnya sebagai orang yang paling saba

Mereka bergerak dengan cukup cepat, karena tak perlu lagi melakukannya dengan diam-diam. Rad, Amory dan Sorrel ada di depan. Mereka baru berhenti pada jalan utama yang kemarin menjadi tempat Flan menghadang Rad. Terlihat beberapa vampir berdiri di jalan itu. Itu kabar buruk karena paling tidak mereka berjumlah sekitar dua puluh lebih. Ini jumlah diluar perkiraan Rad. Terlihat imbang, tapi paling tidak butuh lima Hunter untuk menghadapi satu vampir. Mereka kalah jumlah. Dan jelas Rad harus bekerja keras nantinya. Para vampir itu jelas telah disiagakan untuk kehadiran Rad dan Amory, tapi jelas tidak pada bagian Sorrel. Makhluk bertanduk itu membuat mereka terkejut. Lalu semakin terkejut saat melihat kehadiran Hunter di belakang mereka. “Kau membawa Hunter?” Salah satu dari mereka maju. Si pendiam Kellan yang kemarin mengikuti Wenly. Tangannya yang kemarin dipatahkan oleh Rad terlihat belum sembuh. Dia menggulirkan pandangan pada Rad, dan tentu masih heran, karena Rad tampak baik-ba

Tanpa perlu pertimbangan, Rad mengeluarkan cakar dan matanya menghitam. Dia tidak akan menahan diri saat menghadapi Ben. Sudah cukup selama ini Ben melarikan diri. Ini adalah saatnya Ben membayar segala kejahatannya. “Kita bertemu lagi. Kedua kalinya untuk hari ini,” kata Ben, dengan ramah. Sikap ramah pura-pura yang mengingatkan Rad akan Ben yang dulu. Tapi sayang, dia sudah jauh bebrbeda sekarang. “Ya, Ben. Dan kali ini tidak ada yang perlu bersandiwara. Kau bahkan langsung menyerang tanpa peringatan. Ben tertawa mendengar balasan Rad. “Tidak perlu ada sandiwara lagi memang. Kita sudah cukup tahu apa yang akan terjadi sekarang.” Rad mengangguk dengan mengangkat tangannya yang bercakar, bersiap. Tapi Ben memintanya waktu dengan mengangkat kedua tangan. “Aku sebenarnya masih ingin bertanya bagaimana kau bisa sembuh dengan begitu cepat, Rad.” Pertanyaan yang sama dengan Wendell, dan jawabannya sama. “Kau tahu aku tidak akan pernah menjawab pertanyaan itu! Sekarang lebih baik kit