All Chapters of Duchess : Terlahir Kembali Demi Dendam: Chapter 281 - Chapter 290

“Akan lebih baik kalau kau tidur lagi.” Rad memberi saran dengan wajah masam, saat melihat Bree membuka mata di sampingnya. “Hmm?” Bree yang baru saja membuka mata, dan mengumpulkan kesadaran, langsung menjadi heran karena sambutan Rad yang tidak biasa. “Ada apa?” tanya Bree sambil duduk. “Kemana yang lain?” Bree bertanya hal lain, karena ternyata hanya mereka berdua yang ada di sana. Tidak melihat Abel maupun Amory “Mencari kayu bakar yang agak kering. Sebentar lagi hari gelap," jawab Rad. Abel ingin menyalakan api agar mereka--berlaku untuk dirinya sendiri dan juga Bree, lebih hangat. Tapi area di sekitar situ cukup basah. Abel sedikit kesulitan mencari kayu yang kering. Karenanya dia mencari sedikit jauh bersama dengan Amory yang memaksa untuk ikut. “Oh. Lalu kenapa kau ingin aku kembali tidur?” tanya Bree. “Karena kakek pengintip itu akan datang.” “Ck!” Bree nyaris saja mengumpat, tapi kemudian pasrah. Dia sudah tak tahu lagi harus bersikap bagaimana saat menghadapi So

Namun, setelah mengedipkan mata, Rad melihat jika sumber cahaya terang itu bukan matahari. Rad melihatnya seperti kumpulan batu kristal yang saling menempel lalu membentuk kerucut dengan puncak mengarah ke bawah, yang dengan permukaan tidak beraturan. Ada sinar warna kuning yang memancar terang dari sana, membuat seluruh ruangan itu terang benderang. “Apa kita sedang ada di ruangan?’" Rad meralat penilaiannya sendiri. Dia kebingungan, karena jelas benda itu menempel di sebuah langit-langit yang amat sangat tinggi --langit-langit batu yang yang sangat tinggi, yang mengingatkan Rad akan gua, tapi kemudian dari sudut mata, Rad juga bisa melihat pepohonan. “Jangan khawatir. Sinar itu bukan matahari. Anggap saja itu lilin besar. Kami tak bisa menerangi satu area ini dengan lilin biasa.” Sorrel tersenyum, saat mendengar kekhawatiran pertama yang dirasakan Rad dan Amory. Lalu dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Rad. Kebingungan tentang mereka mereka berada di mana.

“Aku tidak mungkin membiarkanmu berjalan di luar sana memakai baju ini. Sama sekali tidak setuju,” kata Rad, sambil menggeleng dengan kencang. Dia mengusap leher dan bahu Bree yang terbuka dengan wajah masam. Seperti yang bisa diduga, baju itu terlalu terbuka. Terlalu banyak bagian tubuh yang tidak tertutup. Tak hanya bahu dan sebagian dada, tapi juga betis. Jika kemarin Bree memakai celana panjang saja sudah cukup menghebohkan, maka apa yang dipakai Bree saat ini bisa dikategorikan sebagai telanjang. Bahkan lebih buruk dari hadiah yang kemarin diberikan Elise---sampai sekarang belum pernah dipakai oleh Bree. “Tapi ini nyaman sekali,” kata Bree, sambil berputar di tempat. Gaun itu terbuka, tapi lebih dari apapun, Bree menyukainya karena sangat ringan. Tanpa tumpukan kain berlapis yang melambai seperti gaun yang biasa dipakai Bree, tentu saja membuat gaun itu terasa ringkas dan praktis. Saat Bree menggulung rambutnya ke atas, maka semuanya terasa ringan. “NON!” Rad menggeleng. “

“Ya, tentu saja. Aku tidak akan pernah ada jika kakekku bukan pemimpin sanctum ini.” Abel menatap heran pada yang lain. Merasa jika fakta itu seharusnya sudah diketahui oleh mereka. “Apa syarat menjadi pemimpin elf harus yang paling menyebalkan? Siapa yang menjadikan dia pemimpin? Akan mengerikan sekali!” seru Rad, keheranan. Rad membayangkan anak buahnya akan sangat kerepotan. Memiliki pemimpin yang bisa membaca pikiran, tentu semua kesalahan akan ketahuan dengan mudah. “Dia tidak dijadikan, tapi memang lahir dengan kemungkinan tanduk itu diwariskan padanya, dan akan menjadi pemimpin di sini karena kemampuan membaca pikiran itu. Kemampuan itu akan menurun pada penerusnya nanti. Itu saja yang aku ketahui,” jelas Abel. “Kau ternyata juga tidak banyak tahu tentang kehidupan Elf.” Rad mengira dia akan bisa mendapat semua info tentang Elf darinya. “Satu-satunya Elf yang pernah aku ajak bicara di sanctum ini adalah kakekku. Demikian pula Imperfect yang lain.” Abel menyahut cepat. “Tap

Bree baru mengerti kenapa mereka ada di luar, setelah melihat wajah Rad yang diliputi oleh kegembiraan. Rad ingin merasakan sinar matahari yang tidak pernah dirasakan seumur hidup. Bree perlahan melepaskan tangan Rad, dan pria itu berjalan ke bagian tengah tanah lapang itu, melepaskan baju Elf yang dipakainya, dan mendongak ke atas. Menatap matahari yang bersinar di langit. Memejamkan mata, berputar di tempat menebarkan tangan. Seolah ingin menyerap seluruh kehangatan itu. Senyum lebar menghiasi wajahnya. “Aku tidak pernah menyukai matahari atau menginginkan untuk melihat matahari, tapi ini indah itu sekali,” seru Rad. Dia berputar di tempat sekali lagi. “Aku kemarin membayangkan matahari adalah dirimu, Bree. Dan aku tidak salah. Matahari benar-benar terasa seperti dirimu. Hangat ini adalah dirimu.” Bree tersenyum, lalu menghapus air mata yang tanpa terasa telah turun di pipinya. Bree tahu ini adalah saat yang sangat membahagiakan bagi Rad, karena dia tidak lagi harus bersembu