บททั้งหมดของ Keperkasaan Tukang Kebon: บทที่ 121 - บทที่ 130

Bagaimana kalau dia senang mengetahui suaminya terangsang oleh perselingkuhan terselubung mereka? Senang karena itu memberinya lampu hijau untuk terus melanjutkan aktivitasnya dengan Pak Karyo tanpa rasa bersalah? Pikiran itu membuat darahnya terasa dingin membeku, namun di saat yang sama, panas aneh menjalari tubuhnya.Dan sebelum dia bisa mengurai benang kusut ini, sebelum dia mengumpulkan keberanian seujung kuku pun untuk bertindak... hari ini adalah akhirnya. Garis finis. Sesuai kontrak sialan itu, jika Maya hamil-dan melihat bagaimana Pak Karyo 'menyuntikkan' benihnya seperti mesin, kemungkinannya besar-semua ini berhenti. Titik. Tidak ada lagi sesi di kamar tamu. Tidak ada lagi alasan 'program'. Jika dia ingin melangkah lebih jauh, ingin menyelam lebih dalam ke kubangan ini, dia harus melakukannya tanpa jaring pengaman. Harus mengakui semuanya. Pada Maya. Mungkin pada Pak Karyo juga? Mengatakan, "Ya, aku suka mendengar istriku dientot olehmu"?Dia merasa ingin muntah membayangka

Pintu utama tidak dikunci. Dia masuk, udara dingin dari AC rumah menyambutnya, tapi tidak mampu meredakan panas di tubuhnya. Hening. Terlalu hening. Tidak ada suara TV, tidak ada suara Pak Karyo bersenandung sambil menyiram tanaman seperti biasa. Tapi kemudian... dia mendengarnya.Suara itu menembus keheningan rumah yang tebal. Desahan panjang Maya, tidak lagi samar, tapi jelas.... bergema pelan dari lantai atas, dari arah kamar tamu. Volurnenya naik turun-kadang tertahan seperti rengekan, kadang lepas menjadi erangan parau, "Aaahhh... mmmhh..." yang membuat bulu kuduknya berdiri."Mas... iya... di situ... aaahhh!"Suara Maya. Memanggil Pak Karyo derigan sebutan "Mas."Irwan membeku di tempat, seolah disambar petir."Mas?" bisiknya pada diri sendiri, lidahnya terasa pahit mengucapkannya. "Mas Karyo?"Panggilan intim itu panggilan sayang yang seharusnya hanya untuk Irwan, suaminya kini meluncur begitu mudah, begitu lembut dari bibir Maya untuk pembantunya. Setiap huruf dari kata pendek

Saat wajah Maya kembali menunjukkan tanda-tanda klimaks kedua, Irwan merasakan tubuhnya sendiri menegang. Sial, secepat ini?"Aaahhh!" Irwan mengerang pelan, menumpahkan hasratnya ke tangannya sendiri. Gelombang kepuasan yang intens menghantamnya bersamaan dengan jeritan Maya yang mencapai puncak kedua.Napas Irwan terengah, keringat membasahi dahinya. Dia baru saja masturbasi sambil menonton istrinya disetubuhi pria lain. Rasa bersalah dan malu seharusnya menghantuinya sekarang. Tapi alih-alih... ada perasaan aneh. Lega. Bebas. Seolah-olah sesuatu yang terpendam lama dalam dirinya akhirnya diakui, akhirnya dilepaskan.Sementara napasnya berangsur normal, Irwan kembali menatap layar. Alih-alih berhenti, Pak Karyo justru semakin bersemangat. Maya terlihat seperti boneka kain yang dilempar ke sana kemari, tubuhnya sepenuhnya. dalam kendali Pak Karyo. Matanya setengah terpejam, bibirnya terbuka, dan tubuhnya bergetar terus-menerus."Hari terakhir... hari terakhir..." Pak Karyo terus meng

"I'm a frickin freak, Irwan berbisik pada dirinya sendiri, tapi kali ini tanpa nada penghinaan. Lebih seperti pernyataan fakta. Pengakuan yang anehnya terasa... membebaskan.Di layar, Maya telah mencapai klimaksnya lagi, tubuhnya bergetar hebat dalam pelukan Pak Karyo. Kali ini, Pak Karyo pun telah mencapai batasnya. Dengan geraman rendah yang terdengar hampir seperti hewan buas, dia menenggelamkan dirinya sedalam mungkin ke dalam tubuh Maya, memegang pinggangnya erat-erat agar tak bergerak."Dik Maya... terima... benih Mas... terima semua..." Pak Karyo mengerang, tubuhnya menegang.Kaki Maya bergetar sejenak sebelum perlahan melingkar di sekitar pinggang Pak Karyo. Jari-jari kakinya menekuk kuat. Pinggulnya terangkat secara refleks, menyambut Pak Karyo hingga ke titik terdalam. Napasnya tertahan di tenggorokan. Bibirnya terbuka lebar, tapi tak ada suara yang keluar-hanya udara panas yang menembus giginya yang merapat.Pak Karyo mencengkeram pinggul Maya kuat-kuat, otot-otot lengannya

Maya menunduk, menatap lantai. "Itu hari terakhir program, bisiknya. "Dia bilang itu bisa membantu.... maksudku... bikin lebih rileks, lebih alami. Katanya... katanya istri di desa selalu panggil suaminya 'Mas'. Dan suami panggil istrinya 'Dik' atau 'Nduk."Setiap kata dari penjelasan Maya terasa seperti mengalirkan listrik ke tubuh Irwan. Dia bisa merasakan gairahnya kembali tumbuh, meski otaknya menyuruhnya untuk marah atau sedih."Itu..." Irwan menelan ludah, "...cuma roleplay?"Maya mengangguk cepat. "lya, Yang. Cuma roleplay. Tapi... tapi aku minta maaf kalau itu bikin kamu sakit.""Mas Karyo?" Irwan mengulang panggilan itu, merasakan kombinasi aneh antara sakit dan gairah. "Kamu manggilnya gitu seharian?"Pipi Maya memerah, dia kembali menggigit bibirnya, "lya... dia bilang itu bakal bantu program berhasil. Bikin.... bikin semuanya lebih intim.""Dan itu berhasil?" tanya Irwan, matanya tidak lepas dari wajah Maya.'Aku... aku pikir iya," jawab Maya pelan. "Kami jadi lebih... ril