All Chapters of Terpaksa Menikahi Sopir Bapak: Chapter 171 - Chapter 180

"Kau sudah bangun?" Suara lembut Fatih menyapaku saat aku baru saja membuka mata. Seketika senyumku mengembang. "Kau sudah datang?" Tanyaku. Fatih mengangguk lalu memelukku sesaat. "Kenapa tidur sendirian. Yang lain ke mana?" Tanya Fatih sambil memindai kamar yang kosong. "Aku meminta Wawan untuk mengantar semua ke hotel. Kasihan kalau mereka di sini. Lagi pula kondisiku sudah mendingan. Oh ya, ada Wawan kan yang berjaga di luar?" Tanyaku. "Ada. Sekarang lagi sama Bram di luar!" Fatih menjawab sambil membenahi selimut di kakiku "Gak istirahat?" Kutatap wajah Fatih yang tampak lelah. Fatih duduk di sisi ranjang lalu menggeleng. "Lihat, apa yang kubaws dari Surabaya?" Ia mengeluarkan map tebal berisi salinan dokumen-dokumen berharga dari Pak Soebagyo. "Kita bisa segera menyelesaikan urusan kita!" Fatih merengkuh kepalaku lalu mencium dahiku lembut. “Oh ya, bagaimana keadaanmu pagi ini, Sayang?" “Jauh lebih baik,” jawabku sambil tersenyum. “Dan sepertinya siap untuk pulang.” Tak

Malam setelah makan malam, kami masih berkumpul di ruang tengah. Mencoba menikmati momen santai setelah beberapa waktu tersibukkan dengan urusan Soeryo. Fatih sedang asyik bermain dengan Dipta di atas karpet, sementara aku duduk di sofa bersama Tante Arini, membahas rencana renovasi salah satu panti asuhan yang akan di buka sebentar lagi di wilayah Jakarta Timur. Sedang Kakek Pranata membaca koran bisnisnya dengan tenang, sesekali tersenyum melihat tingkah Fatih dan Dipta. Bayu seperti biasa, tenggelam dalam sketchbook-nya di sudut ruangan yang tak jauh dari tempat Fatih. Hingga Pak Ibrahim masuk dari arah luar. Sejenak, mertuaku itu tampak berjalan ragu-ragu ke arah kami, tangannya memegang sebuah map berwarna biru. “Ada yang mau Ayah sampaikan” kata beliau pelan, dengan suara yang agak terdengar serak. Kami semua menoleh. Fatih berhenti bermain dan menurunkan Dipta dari pangkuannya. Menatap Pak Ibrahim sambil menautkan kedua alisnya.Isna yang baru saja berlalu segera kembali d

Malamnya, seusai makan malam, kami masih di kursi kami masing-masing. Entah kenapa rasanya berat meninggalksn kursi makan kali ini. Ruang makan yang biasanya sepi setelah pukul tujuh malam, kali ini masih penuh dan hangat. Sementara Dipta sudah terlelap di kamar setelah lelah bermain sepanjang sore dengan Isna. Masih dengan hidangan penutup, Fatih berdehem sesaat membuat semua mata tertuju padanya. “Ada dua hal yang ingin kusampaikan malam ini,” kata Fatih, dengan senyum manisnya yang selalu membuatku tergila-gila, kini tersungging di bibirnya. “Pertama, hari ini, perusahaan kita secara resmi menandatangani kontrak Rusunawa dengan pemerintah. Insya Allah proyek ini kedepannya akan berjalan lancar. Untuk itu mohon doa restunya!" Semua menatap Fatih dengan senang. "Alhamdulillah!" Seru Kakek, Tante dan Pak Ibrahim bersamaan. "dan aku sangat berterima kasih pada semua yang sudah mendukung, terutama pada Bayu yang menyiapkan analisis finansialnya dengan luar biasa. Dedikasinya benar-b

Pagi ini kami sedikit lama berbincang di ruang makan dengan wajah-wajah yang sedikit lesu. Bukan karena kurang tidur tapi karena pagi ini, kami harus berpisah dengan Bayu. Setelah sekian lama terpisah karena kesalahpahaman, kini harus kembali terpisah karena sebuah harapan. "Om Bayu, Dipta boleh ikut?" Wajah polos Dipta membuat mata Bayu sedikit mengembun. Laki-laki tampan itu menggeleng sambil tersenyum. "Kan sudah ada Papa. Kasihan Papa dong kalau Dipta ikut Om jauh!" Dipta menoleh. Menatap Papanya yang kini mengangguk setuju. "Om sendilian?" Dipta lagi-lagi bertanya. Sebelum Bayu menjawab, aku sudah lebih dulu menjawab. "Enggak dong Sayang!" Kini, Bayu menatapku curiga. "Om Dipta mau bareng Tante cantik yang pinter gambar itu. Masih inget kan? Tante yang cantik itu?" Dipta tampak berpikir sesaat lalu mengangguk senang. "Safira. Jangan aneh-aneh kamu ya!" Bayu sudah mendelik ke arahku tapi aku masih belum puas. "Dipta mau kan punya Tante cantik itu? Kayak Mama yang punya Uti

Meskipun Fatih dan Pramudya telah menyusun langkah-langkah hukum dengan matang, dan yakin dengan kemenangan yang akan aku dapatkan, tetap saja aku gelsah. Rasanya memang tak nyaman saat bermasalah dengan orang lain, apalagi sampai menempuh jalur hukum atau bahkan sampai di ketahui banyak orang. Berkali-kali aku membuang nafas. Andai saja Soeryo tak mengusikku, tentu keluarga besar Maulana akan diam. Sayangnya, keserakahan justru membuat lebih mudah untuk dihancurkan. “Pram, semua sudah terdaftar, kan? Maksudku, laporan pidana dan gugatan perdata itu?” Tanyaku ragu begitu kami tiba di restoran hotel siang ini. “Sudah, Safira. Jangan khawatir. Pagi ini, Pengadilan Negeri Yogyakarta juga sudah menerima nomor registrasi gugatanmu. Dan yang paling penting, Bareskrim sudah mengeluarkan press release singkat tentang penyelidikan awal kasus korupsi dan pencucian uang dengan perusahaan properti besar di Semarang. Nama Soeryo tidak disebut, tapi semua orang, terutama di pasar modal, tah