All Chapters of Terpaksa Menikahi Sopir Bapak: Chapter 211 - Chapter 220

Aku melangkah keluar dari kamar mandi, dengan tubuh yang terasa lebih segar. Setelah mengganti pakaian dengan piyama yang nyaman, aku kembali ke sisi Dipta. Tok. Tok. Tok. Sesaat pintu terketuk. Belum sempat aku mempersilakan masuk, Isna sudah lebih dulu membuka pintu. "Mbak!" Sapanya sambil tersenyum. "Masuk Is!" Aku memintanya untuk masuk. Mungkin dia tahu jika Fatih belum pulang itu sebabnya dia membuka pintu tanpa menunggu ijin. Isna masuk sambil membawa Raina yang telah rapi. "Mbak Safira gak makan dulu?" Tanya Isna setelah Raina berpindah ke pelukanku. "Tolong ambil buat aku ya, Is. Lagi malas turun nih!" Pintaku. Isna mengangguk. "Siap Mbak. Ditunggu ya!" Tanpa menunggu jawabanku, Isna sudah lebih dulu berdiri dan melangkah keluar kamar. Beberapa saat menunggu, Isna akhirnya kembali datang dengan membawa nampan juga paper bag di tangan. "Apa itu, Is?" Tanyaku ingin tahu. "Ini camilan buat Mbak Safira. Mas Dipta juga!" Setelah nampan diletakkan di meja, Isna m

Masih sempat kulihat wajah Diana terkejut dan kesal. Dan untuk pertama kalinya, aku terswnyum penuh kepuasan. "Kenapa, Safira?" Tanya Fatih yang melihatku mengulum senyum. "Oh, enggak. Gak papa. Seneng aja bisa berduaan begini!" Jawabku menghindar. Jangan sampai Fatih tahu jika aku juga punya sisi yang kejam, meski tak terlihat di permukaan. Salah sendiri suka bikin masalah. "Kira-kira Diana marah gak ya, kamu tinggal gitu aja?" Fatih kembali menoleh. "Kenapa sekarang jadi mikirin Diana? Nyesel aku ninggalin dia tadi?" Mendengar itu, refleks aku memukul lengannya. "Jangan-jangan kamu yang nyesel ninggalin dia!" Kataku mencibir. "Kok jadi bahas dia sih. Bukannya kamu seneng kita bisa berdua aja?" Fatih mencoba mengalihkan pembicaraan. "Hanya penasaran," jawabku dengan tersenyum kecil. "Dia pasti mengira kita akan membahas masalah kantor yang rumit, makanya dia ingin ikut." Lanjutku. "Belum tentu juga. Sepertinya memang dia ingin selalu ada di tengah-tengah kita!" Jawab Fa

Aku masih duduk terpaku di tepi ranjang, sambil menatap Raina yang masih pulas. Pikiranku masih melayang tentang apa yang mungkin Diana berikan pada Raina selama lima jam Isna tidak ada, mau tak mau membuat nafasku tertahan. Aku tahu Diana terobsesi pada Fatih, tapi harusnya obsesi Diana tak akan membahayakan siapapun. Termasuk Raina. Pintu kamar terbuka pelan, dan Fatih masuk. Ia menggendong Dipta yang sudah tertidur pulas di bahunya. Fatih berjalan hati-hati ke kasur kecil Dipta, membaringkan jagoan kami, lalu menyelimutinya. Setelah memastikan Dipta pulas, Fatih berjalan mendekatiku. Ia ikut menatap Raina. "Pulas sekali tidurnya!" Bisiknya sambil tersenyum lalu mengusap pucuk kepalaku mesra. "Kakek bilang. akan mempercepat pernikahan Tante Arini dan Paman!" Aku menoleh. Mengikuti gerak tubuhnya yang duduk di sofa. "Apa, kapan?" Tanyaku. Terlupakan sejenak masalah Diana yang menjaga Raina siang ini. "Setelah kita dari Madiun!" Aku membuka mulut. "APA? Secepat itu?" Aku men

Tak sempat menghindar jauh, aku terpaksa mendorong Bayu ke dapur. Karena tak mungkin terus berjalan di lorong panjang. Atau Diana akan tahu jika aku telah menguping pembicaraannya dengan Fatih. Aku gak bisa ketahuan sekarang. Dan Bayu yang sepertinya belum menyadari apapun, hanya menurut sambil sesekali menoleh padaku. "Diam di sini!" Kataku setengah berbisik. Aku agak merapatkan diri di celah lemari besar. Lebih aman. Setidaknya menurutku. "Jangan sampai Diana tahu!" Bayu mengernyitkan alisnya. "Apa ... ?" "Bayu, apa yang kau lakukan di sini?" Aku menahan nafas. Diana sepertinya menyadari langkah kaki kami tadi dan itu yang membuatnya keluar galeri. "Oh. Aku haus mau minum. Kenapa?" Bayu membuka pintu kulkas dengan santai. "Kenapa gelap begini. Kok gak nyalain lampu?" "Gak usah biar saja. Mataku agak sakit dengan cahaya!" Bayu segera bersuara. "Oh ya? Kenapa?" Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka. "Beberapa hari ini, aku harus mengerjakan banyak laporan di la

Pagi setelah subuh, Fatih menarikku menjauh dari ranjang. "Pa. Mau ngapain. Di rumah Bapak Ibu loh!" Fatih mendelik. "Kenapa emang kalau di rumah Bapak Ibu? Masalah? Dosa?" Fatih semakin menjadi. "Gak enak!" jawabku sambil terus menghindar. "Sini!" Tariknya. "Gak mau!" Aku bersikukuh menjauh darinya. Kapan lagi bisa menikmati waktu bersantai di kamarku sendiri kali ini. "Mau ngapain narik-narik. Ya udah ayok di ranjang aja!" Kataku menyerah. Bukannya mendekat ke ranjang, Fatih justru tergelak. Kini, tangannya menyentil dahiku pelan. "Diajak bener aja gak mau. Kalau gak diajakin malah ajak-ajak!" Fatih masih tertawa sambil menggelengkan kepala. Untung saja, Dipta dan Raina tidur dengan Bapak dan Ibu, kalau tidak, pasti mereka sudah ikut ribut melihat orang tuanya saling dorong. "Aku mau ajak kamu olah raga pagi, Ma. Mumpung di sini. Ayo!" Aku terdiam olah raga pagi? Aku jadi ingat terakhir kali aku lari pagi bersama Fatih. "Ogah!" Tolakku. "Trauma aku, Pa!" Tawa Fatih semaki