All Chapters of Jangan Menangis, Nona! Tuan Muda Akan Memanjakanmu : Chapter 121 - Chapter 130

“Aku tidak ingin dikendalikan oleh keluarga calon wakil presiden. Memilih kamu yang paling lemah artinya akulah yang mengendalikan kamu dan keluargamu, bukan sebaliknya.” Mendengar itu, wajah Giselle seketika pias. Untuk sesaat bibirnya hanya bergerak tanpa kata. Untuk lebih dari enam puluh detik, ia hanya bergeming sebelum heels yang ia kenakan membawanya selangkah lebih dekat pada Damien. Tangannya terangkat, mengarah pada Damien dan— PLAK! Benturan telapak tangan Giselle dan pipi sebelah kiri Damien menambah ketegangan di antara mereka kian menjadi-jadi. Suara Giselle yang lirih menggeram menyebut nama pria itu. “Damien ....” Damien tak bereaksi, pun juga tak menyentuh bekas tamparan Giselle. “Jangan hanya karena kamu pria paling berpengaruh di Berlin lalu kamu bebas merendahkan aku seperti itu!” Damien masih membungkam mulutnya, iris biru gelapnya menerpa Giselle seakan menikmati kemarahan gadis itu. “Giselle,” balas Damien akhirnya. “Aku sudah mengatakannya padamu untuk

“Tidak, tidak!” Giselle berlari meninggalkan kamarnya untuk menuju ke kamar Tuan Harry. Sebelum ayahnya itu membuka amplop putih kiriman Damien, Giselle harus mendapatkannya. Jika benar di dalam sana ada foto Dion yang sedang mendatangi kamar hotelnya, maka akan tamat riwayatnya! Ayahnya akan tahu bahwa ia telah ditiduri oleh pria yang bukan suaminya, bukan pula pria terpandang yang selama ini diharapkannya akan menjadi menantu keluarga Braun. Tiba di lantai atas, Giselle mengetuk pintu kamar. Begitu jawaban ‘Masuk’ dari sang Ayah terdengar, Giselle bergegas memutar knop. “Pa—“ panggilnya seraya mengatur napas agar tak terlihat ia tergesa-gesa untuk sampai di sini. Pria itu dijumpainya ada di atas ranjang, tengah duduk di samping Nyonya Diana, menonton televisi. “Ada apa, Giselle?” “Amplop putih tadi mana?” tanya Giselle. “Di atas meja kerja Papa, kenapa?” “Itu dari Kak Damien, isinya ... voucher belanja di salah satu brand milik temannya. Dia bilang padaku kalau salah memb

.... Setelah Samantha berpamitan pulang dengan diantar oleh Giovanni, Damien masih tak beranjak dari sofa tempatnya duduk. Ia tersenyum mengingat wajah cantik Samantha yang memerah saat Damien mengatakan tentang 'pernikahan secepatnya' tadi. Damien memang sengaja melakukan itu untuk mendengar bagaimana Samantha menyikapinya. Gadis itu teguh pada pendiriannya. Matanya mengarah pada tablet yang baru saja dipindahnya ke atas meja, yang masih menyala dan menunjukkan wajah cantik Seraphina yang kini abadi tertidur di antara bintang-bintang. Damien meraba dada sebelah kirinya, tempat di mana tato ‘SC dan In Aeternum’ berada. Samantha benar bahwa itu adalah untuknya, untuk Seraphina Claudine. Tato yang dibuat Damien untuk mengingatkannya sepanjang hidup akan kelalaiannya menjaga adik perempuan satu-satunya itu hingga dirusak oleh iblis tak berperikemanusiaan bernama— “Tuan Damien.” Panggilan Giovanni membawa kembali Damien pada kesadaran. Ia menoleh saat pemuda itu berdiri tak jauh

Erick berlari menuju ke sumber kekacauan. Hendak memastikan dengan mata kepalanya sendiri apakah benar yang mengalami kebakaran itu adalah unit 404, unit apartemen miliknya. Tapi selangkah beranjak, Pierre mencegahnya. Pemuda itu mendorong Erick, berdiri di hadapannya. Dengan suaranya yang lebih terdengar seperti hardikan mengatakan, “Kau gila?!” “Aku harus memastikannya, Pier,” jawab Erick. “Tidak terlihat dari sini oleh matamu? Kecuali kau mau mati terpanggang di sana, silakan!” Pierre menunjuk pada kepulan asap berwarna abu-abu yang membumbung di udara, yang mencemari pemandangan langit malam Berlin. Pierre hanya ingin mengatakan pada Erick bahwa yang dikatakan oleh wanita itu benar. Telah terjadi kebakaran. Tak ada gunanya datang ke sana saat evakuasi masih belum usai. Ia hanya akan menghambat. Lagi pula tak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu, petugas pemadam kebakaran yang turun tangan. “Baik aku hanya akan bertanya, tidak akan mengganggu siapapun,” kata Erick. Pie

Giselle tak berani melawan Dion sebab jemari pria itu merenggut dagunya dengan kasar kala ia tak memberi jawaban. “Jawab aku, Giselle!” desis Dion dengan mata tajamnya yang mengintimidasi. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukan apa yang aku mau? Kalau begitu—“ “Iya,” potong Giselle sebelum Dion mengeluarkan kalimat ancamannya lagi. Ia berpindah ke belakang, disusul oleh Dion. Giselle menggigit bibirnya seraya ia melepaskan panties dari balik dress yang ia kenakan. Dion pun demikian, ikat pinggangnya ia longgarkan sebelum kedua tangannya meraih pinggang Giselle dan menempatkan di pangkuannya. Bibir mereka bertemu, saling melumat, sensual dan intens yang dibayangi oleh kegugupan seandainya seseorang melihat apa yang mereka lakukan di sudut sunyi basement parkiran ini. Giselle menengadahkan wajahnya saat Dion menyentuh bagian depan tubuhnya. Kancing yang semula ada di dadanya kini telah terbuka. Dion menyelusupkan tangannya ke dalam sana, memberi remasan sebelum lidahnya bergerak m