All Chapters of Terjerat Obsesi Kakak Ipar: Chapter 101 - Chapter 110

Udara pagi di Tuscany terasa berat bagi Isabella. Dinding-dinding rumah sakit dan bayangan Matteo yang masih berkeliaran terasa seperti sangkar. Setelah beberapa hari memastikan kondisi Leonardo stabil, ia mendesak dokter untuk mengizinkan mereka pulang. Argumennya logis: udara segar Danau Como akan lebih mempercepat penyembuhan Leonardo. Dokter akhirnya luluh, dan izin pun diberikan.Luca, yang setia mengawal, melaporkan bahwa persiapan jet pribadi dan dokumen kepulangan sudah lengkap. "Matteo masih menghilang bagai ditelan bumi," lapor Luca, "Tapi beberapa polisi yang disuapnya sudah kami amankan. Mereka akan menjadi saksi kunci."Leonardo, yang sudah mampu duduk tegak, menghela napas. "Dia akan terus bersembunyi. Dia tidak akan berani muncul selama ayahnya, Riccardo, masih terpojok. Ayah dan anak itu sama saja: pemberani hanya ketika berkuasa, pengecut ketika jatuh."Isabella menyimpan dokumen terakhir ke dalam koper dengan gerakan mantap. "Justru itulah keuntungan kita, Leo. Denga

Panggilan itu masih terngiang-ngiang di telinganya, menghantui setiap langkahnya. Suara Leonardo yang parau, sarat dengan kerinduan yang begitu dalam, seakan mencengkeram jiwanya. "Aku sangat merindukanmu, Isabella. Pulanglah." Kalimat itu yang membuatnya meninggalkan segalanya dan memacu mobilnya dengan cepat menuju Villa.Jantungnya berdebar penuh harap, membayangkan senyum lemahnya, pelukan hangatnya yang selama ini menjadi pelabuhan teramannya. Namun, saat dia membuka pintu Villa, sunyi yang menusuk menyambutnya. Rumah itu terasa kosong, hampa, dan dingin bagai kuburan."Leo?" panggilnya, suaranya gemetar menggema di lorong-lorong megah. "Leonardo?"Tidak ada jawaban. Hanya detak jam dinding yang berdetak keras bagai genderang peringatan di kepalanya. Rasa takut yang irasional mulai merayap, menyelimuti hatinya dengan es. Pikirannya langsung melesat ke skenario terburuk—kesehatannya yang masih rapuh, kecelakaan yang mungkin terjadi, atau... atau sesuatu yang lebih mengerikan.Tiba

Ponsel di genggaman Isabella terasa berat bagai batu. Suara Dante Moretti di seberang sana tidak lagi hangat, tetapi datar dan penuh dengan realitas kelam yang selama ini tersembunyi.“Isabella, dalam dunia bawah, hal seperti ini sudah biasa. Kalau bukan kami yang membunuh, kemungkinan besar kamilah yang dibunuh,” suara Dante terdengar dingin, seperti baja. “Meskipun Ayah Leonardo yang terbunuh, bukan berarti dia berada di pihak yang benar.”“Apa maksudmu, Paman?” desis Isabella, mencoba memahami.“Sudahkah kau mencari tahu asal-usul tambang itu? Itu adalah tambang liar. Sebelumnya tidak ada yang mengklaim. Namun, karena kecerdasan dan kelicinan ayah Leonardo, dia berhasil mengklaimnya sebagai miliknya. Aku berharap kau tidak serta-merta menyalahkan kami.”“Tapi, tetap saja… membunuh bukanlah hal yang dibenarkan,” bantah Isabella, suaranya lemah namun penuh keyakinan.“Kamu benar,” aku Dante, tanpa penyesalan. “Membunuh memang salah. Tapi, jika kami tidak melakukannya, apa kau pikir a

Ponsel di tangan Leonardo berdering, dan tanpa melihat siapa pun, ia langsung mengangkatnya. Suara Luca yang riang segera memecah kesunyian."Bro, laporan dari Genoa. Penyergapan berhasil sempurna. Orang-orang Riccardo sekarang sudah dalam tahanan polisi. Bisa dipastikan, mereka sedang mengalami hari-hari terburuk mereka," lapor Luca dengan nada puas.Leonardo menghela napas lega, tetapi ada sesuatu dalam cara Luca berkata yang membuatnya penasaran. "Kau bilang 'penyergapan'? Sepertinya cara kerja Dante tidak sekotor dulu," komentar Luca."Maksudmu bagaimana?" tanya Leonardo, duduk di tepi tempat tidurnya."Dia tidak membersihkan sampah itu dengan tangannya sendiri. Dia meminta tolong polisi. Aku tidak tahu detail narasi yang dia ceritakan pada mereka, tapi yang pasti, kepala polisi yang memimpin operasi ini akan dapat medali dan promosi jabatan besok pagi," jelas Luca sambil terkekeh. "Cerdik, bukan?""Berarti Dante bekerja sama dengan mereka. Itu... bagus. Lebih bersih," gumam Leona

Leonardo benar-benar menepati janjinya. Ponsel tetap terhubung, diletakkan di samping bantal dengan layar masih menyala, memancarkan cahaya lembut yang menerangi sebagian wajahnya yang terpaku. Di seberang layar, suara gemericik air telah reda, berganti dengan suara lembut handuk mengeringkan kulit.Matanya tak berkedip, mengikuti setiap gerakan Isabella yang samar-samar tertangkap kamera. Dia melihatnya mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, melihat lengkung lehernya yang elegan, dan bayangan bahunya yang halus. Kerinduannya bukan lagi hanya sebuah perasaan, melainkan sesuatu yang fisik, nyata, menusuk di dalam dadanya.“Sudah selesai?” suara Leonardo akhirnya pecah dalam hening, serak dan berat.Isabella membelakangi kamera, tetapi Leonardo bisa melihat senyum kecilnya dari bayangan di cermin. “Hampir,” bisiknya. “Aku hanya perlu mengenakan sesuatu.”Lalu, sesuatu yang membuat nafas Leonardo tercekat terjadi. Alih-alih mengambil baju tidur biasa, Isabella membuka laci kecil di