All Chapters of Janda Ceroboh dan Pengacara Dingin: Chapter 151 - Chapter 160

Setelah selesai mandi dan memakai pakaian rapi, Sofia pun menuruni anak tangga. Dia menuju dapur untuk menemui sang Mami, benar saja Mami Naya tengah menuangkan susu digelas dan mendengar langkah kakinya seketika menoleh. "Ayo sarapan," ucap Mami Naya. Sofia tahu dia sedang tidak ingin makan, tapi tubuhnya terasa lemah dan berharap dengan sedikit makan akan membuatnya sedikit bertenaga. Namun, setelah duduk di kursi meja makan justru Sofia melihat sebuah bingkisan di ujung meja makan. "Untuk siapa, Mi?" tanyannya. "Kan kita mau ketemu Oma," jawab Mami Naya. Sofia pun bingung karena dia berencana pergi menuju kantor. "Oma?" gumamnya. "Iya, kan semalam kita udah sepakat untuk ketemu Oma hari ini," Mami Naya pun mengingatkan. Sofia pun akhinya mengingat kembali apa yang dikatakan oleh Maminya tadi malam. "Tapi, Mi. Sofia takut Oma ngusir kita. Sofia udah jahat banget sih, Mi," ucapnya dengan perasaan bersalah. "Sofia, Mami yakin. Oma adalah orang baik. Lagipula kamu

Dengan langkah ragu, Sofia terus melangkah masuk. Perutnya terasa bergejolak, rasa mual kembali menyerang tanpa peringatan. Ia menahan napas, berusaha menstabilkan diri, tapi setiap langkah justru terasa semakin berat. Entah mengapa, kakinya malah membawanya menaiki anak tangga — menuju ke arah kamar Bima. Di depan pintu itu, tangannya sempat terulur hendak memutar gagang, namun gerakannya terhenti saat pintu terbuka lebih dulu dari dalam. Sofia terpaku. Di hadapannya berdiri Bima — menjulang tinggi dengan tatapan tenang yang justru membuat dadanya semakin berdebar. Deg! Jantung Sofia berdetak kencang, seolah baru diingatkan pada sesuatu yang sudah lama ia coba lupakan. Aroma khas tubuh Bima menyeruak pelan di udara — hangat, familiar — anehnya justru membuat rasa mualnya sedikit mereda. Beberapa detik berlalu dalam diam. Tak ada suara selain detak jantung Sofia yang terasa begitu nyaring di telinganya. Bima menatapnya tanpa kata, sorot matanya dalam, seolah berusaha memba

Sofia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah ingin meluapkan semua perasaannya di jalanan. Tangannya menggenggam setir erat, rahangnya menegang. “Pelan-pelan, Sofia! Astaga, ini udah terlalu cepat!” seru Mami Naya panik dari kursi penumpang, tangannya refleks memegang dashboard. Tapi Sofia tidak menjawab. Matanya lurus ke depan, tatapannya tajam — seperti ingin menyalurkan semua sesak yang menumpuk di dadanya melalui pedal gas. Kepanikan Mami Naya memuncak ketika melihat seseorang berdiri di sisi jalan, tepat di depan mobil yang melaju kencang. “Sofia, awas!!” teriaknya keras, suara panik bercampur takut. Sofia tersentak, matanya melebar — dan tanpa pikir panjang, ia menghentakkan kaki ke pedal rem. Ban mobil berdecit panjang di aspal, tubuh mereka sedikit terhentak ke depan. Semua terasa hening sesaat, hanya terdengar detak jantung dan napas terengah di dalam mobil. “Sofia, kamu kenapa?” tanya Mami Naya setelah beberapa detik hening. Suaranya masih berget

Sofia duduk di kursi kebesarannya. Jemarinya bergerak pelan, mengetuk permukaan meja dengan ritme tak beraturan—tanda pikirannya sedang kalut. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya kosong, penuh bayangan pikiran tentang Bima. Suara ketukan pintu memecah kesunyian. Tok… tok… tok… “Masuk,” ucapnya tanpa menoleh. Pintu terbuka perlahan. Rayhan muncul, membawa tablet di tangannya. Ia tampak ragu sejenak sebelum berbicara. “Ibu Sofia, ada Pak Bima ingin bertemu.” Nama itu membuat Sofia terpaku sesaat. Napasnya tertahan, matanya tak berkedip. Bima? Untuk apa dia datang ke sini? Rayhan menunggu di ambang pintu. “Apakah saya izinkan masuk, Bu?” Sofia diam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Ya, silakan.” Tak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Bima melangkah masuk dengan langkah tenang namun tegas. Jas hitamnya rapi, wajahnya tampak serius—tidak seperti biasanya. Sofia menatapnya dari balik meja, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral meski jantungnya

Sofia berdiri di balkon kamarnya, angin malam berembus lembut menerpa wajahnya. Ia memeluk dirinya sendiri, seolah mencoba menahan dingin yang tiba-tiba terasa menusuk. Pikiran Sofia melayang pada kata-kata Bima sore tadi. “Sampai jumpa di pengadilan agama besok.” Besok—hari pertama sidang perceraian mereka dimulai. Kata itu bergema di kepalanya, berat dan menyakitkan. Semudah itukah semuanya berakhir? Setelah semua yang telah mereka lalui, setelah semua perasaan yang sempat tumbuh diam-diam di antara kesepakatan dingin bernama pernikahan kontrak itu? “Sofia,” panggil Mami Naya pelan. Sofia menoleh. Di tangannya, Mami Naya membawa nampan berisi makanan, lalu meletakkannya di atas meja. “Kamu belum makan apa-apa sejak siang tadi. Sarapan juga cuma sesuap pagi tadi,” ucap Mami Naya lembut namun tegas. Sofia tersenyum tipis. “Sofia nggak selera makan, Mi.” “Nanti kamu sakit, lho,” kata Mami Naya sambil mendekat. “Enggak kok, Mi. Sofia baik-baik aja,” jawabnya berusa