All Chapters of Menikahi Pamannya Tunanganku: Chapter 51 - Chapter 60

“Kau terlihat gelisah, ada apa?”Leonhart bertanya setelah melihat ekspresi Nadine. Sejak menerima pesan misterius itu, Nadine memang merasa tidak tenang.“Tidak ada apa-apa,” jawab Nadine sambil memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela mobil.Leonhart hanya memperhatikannya tanpa bertanya lebih lanjut. Mereka hampir tiba di hotel tempat mereka akan menginap. Saat mobil berhenti di depan lobi, para pelayan hotel segera menyambut mereka dengan ramah.Para pelayan mengantar keduanya menuju kamar yang sudah dipesan. Setelah sampai, pelayan itu berpamitan dan meninggalkan mereka. Leonhart meletakkan tas laptopnya di atas meja.“Kau boleh pilih kamar yang kau mau,” ucap Leonhart santai.Nadine segera melihat dua kamar yang tersedia di ruangan itu. Ia memilih kamar di bagian kiri yang terlihat lebih nyaman.“Aku mau kamar yang ini,” ujarnya sambil berdiri di ambang pintu kamar tersebut.“Baiklah,” balas Leonhart sambil melangkah menuju kamar di bagian kanan.Nadine menutup pintunya dan dud

“Jangan ikut campur!”Rafael membentak Leonhart di tengah perjamuan itu. Namun, untungnya Leonhart menanggapinya dengan tenang, mengingat mereka sedang berada dalam acara resmi.“Dia istriku, tentu saja aku harus ikut campur,” ucap Leonhart dengan tenang sambil menggenggam tangan Nadine.Namun, sepertinya Rafael sudah benar-benar kehilangan kendali, ia membuat kekacauan di perjamuan itu.“Kenapa kau selalu ikut campur urusanku?” tanya Rafael dengan nada kesal.“Aku tidak peduli apa urusanmu, tapi jangan libatkan istriku,” ucap Leonhart tegas.“Hah! Kaulah yang merebut tunanganku!” bentak Rafael sambil menunjuk ke arah Leonhart.Ucapan Rafael menarik perhatian para tamu yang hadir. Mereka yang tadinya hanya melirik kini mulai berkumpul, menonton keributan itu.Nadine, yang menjadi pusat perhatian, merasa takut. Ia berlindung di balik punggung Leonhart dan menggenggam erat tangannya.Merasakan ketakutan Nadine, Leonhart menjadi kesal kepada Rafael.“Lebih baik kita bicarakan ini di luar

“Bu Nadine, ini ada paket untuk Ibu.” Ucap asisten pribadi Leonhart sambil menyerahkan sebuah paket ketika Nadine baru saja sampai di kamar hotel.Nadine yang merasa bingung pun bertanya,“Dari siapa?”Nadine mengambil paket itu dan mencari tahu apakah ada informasi pengirim yang tertulis di sana.“Katanya dari teman kuliah Ibu, yang dulu pernah makan bersama di kafe dekat kampus,” jawab asisten itu.Nadine tertegun. Ia tahu betul siapa orang itu. Tanpa berpikir panjang, Nadine langsung menyerahkan kembali paket itu dan memintanya untuk membuangnya.“Tolong buang paketnya,” ucapnya.Leonhart, yang berada di dekat mereka, menoleh dan bertanya,“Ada apa? Apa kau tahu siapa orangnya?”Dengan ekspresi datar, Nadine menjawab,“Itu dari Rafael.”Mendengar nama itu, Leonhart segera memerintahkan asistennya untuk mengikuti permintaan Nadine.“Kau yakin itu dari Rafael?” tanyanya, memastikan.“Ya, aku yakin,” tegas Nadine.Perasaan Nadine mulai tidak tenang. Ia yakin Rafael sedang menerornya,

“Aku punya hadiah untuk kalian.” Nadine mengatakan itu saat mereka berada di mobil Revan, yang sedang menjemput Nadine untuk pergi ke kantor bersama. Mira, yang langsung antusias mendengar kata hadiah dari Nadine, segera mencecarnya, “Mana, mana? Hadiah apa?” Nadine mengeluarkan beberapa hadiah untuk Mira dan Revan. Untuk Mira, Nadine membelikan gelang, gantungan kunci, dan juga makanan khas dari Los Angeles. Sedangkan untuk Revan, Nadine membelikannya figur Marvel, gantungan kunci, dan juga makanan khas dari Los Angeles. “Ini cantik sekali, Nad,” ucap Mira sambil mengagumi gelangnya. “Iya kan? Aku juga langsung jatuh cinta ketika pertama kali melihatnya,” jawab Nadine dengan bangga. “Wah … aku suka banget Marvel, terima kasih, Nad,” ucap Revan dengan senang. “Iya, terima kasih banyak, Nad,” sambung Mira. “Sama-sama,” ucap Nadine sambil tersenyum manis. Mereka pun sampai di kantor. Setelah memarkir mobil, mereka pergi bersama menuju ruang kerja. Kantor masih sepi, b

“Untungnya pergelangan kakinya tidak terkilir terlalu parah. Tapi tolong kurangi aktivitas, jangan banyak bergerak dulu.” Begitulah kata dokter setelah selesai memeriksa kondisi kaki Nadine.Ucapan dokter itu membuat Leonhart langsung melarang Nadine untuk bekerja.“Kau dengar itu? Besok kau tidak usah masuk kerja, izin saja,” tegasnya.“Tapi … aku baru saja izin sebelumnya saat pergi bersamamu,” sahut Nadine ragu.“Tidak masalah kalau harus izin lagi. Apa kau mau sakitnya bertambah parah?” balas Leonhart dengan nada menekan.Nadine menghela napas panjang, lalu mencoba membujuknya.“Ku mohon, biarkan aku tetap bekerja. Aku janji tidak akan banyak bergerak,” pintanya dengan wajah memohon.“Di perusahaanmu aku hanya karyawan biasa, bukan CEO sepertimu. Aku tidak bisa seenaknya izin berkali-kali. Kalaupun bisa, aku tidak enak dengan yang lain,” jelas Nadine panjang lebar.Karena penjelasan Nadine terasa m