Menikahi Pamannya Tunanganku のすべてのチャプター: チャプター 71 - チャプター 80

“Ada apa ini?”Suara tegas itu membuat semua orang di koridor terdiam. Nadine, Mira, Revan, dan Raina spontan menoleh ke arah sumber suara.Leonhart berdiri di ujung koridor dengan kedua tangan terlipat di saku celana, tatapannya tajam dan penuh wibawa.“Apa yang kalian ributkan?” tanyanya dingin.“Ng-nggak ada kok, Pak,” jawab Raina cepat, suaranya terdengar gugup.Nadine dan Mira saling tatap, jelas-jelas geram mendengar kebohongan Raina.Leonhart mengedarkan pandangannya pada mereka satu per satu, sebelum akhirnya menatap Raina lebih lama.“Benarkah? Lalu kenapa saya mendengar nama Nadine disebut-sebut?” tanyanya datar, namun tekanannya cukup membuat udara terasa berat.Tidak ada yang berani menjawab. Hening.“Kalian berempat ikut saya ke ruangan,” ucap Leonhart tegas.Mira dan Nadine saling melirik. Revan yang sejak tadi hanya menghela napas akhirnya bersuara lirih,“Lagian kenapa sih diladenin?” bisiknya ke Mira.“Ya gimana? Dia duluan yang cari ribut,” jawab Mira kesal.Mereka p

“Hentikan!”Satu kata dari tetua Andrew langsung membuat suasana di ruangan itu hening seketika.“Kalian ini, selalu saja bertengkar setiap kali bertemu!” serunya dengan nada kesal.Nadine menatap Leonhart yang masih menatap tajam ke arah istri tetua itu. Ia lalu meraih tangan suaminya dan menggenggamnya erat, berusaha menenangkannya.“Kau harus tahu, istri Leonhart, Nadine Itu cukup hebat. Ia berhasil menarik perhatian Marissa, CCO perusahaan Verese & Co, saat perjamuan di Amerika kemarin,” ucap tetua Andrew kepada istri tetua yang tadi menyindir Nadine.Namun, istri tetua itu tetap tak percaya dan malah menuduh dengan nada menyebalkan,“Halah, itu pasti karena pengaruh Leonhart. Makanya Marissa meliriknya,” sanggahnya sinis.Untung saja tetua Andrew segera membela Nadine hingga membuat perempuan itu tak berkutik.“Itu justru lebih baik. Artinya, kau bisa memanfaatkan jaringan di sekitarmu dengan cerdas. Lalu, apakah anakmu bisa melakukannya? Setahuku, ia hanya menimbulkan masalah,”

“Apa kau mau membelinya?”Leonhart bertanya pada Nadine yang tengah memperhatikan salah satu gaun di booth festival.“Tidak, aku hanya melihatnya saja,” jawab Nadine, lalu berpindah ke booth lain.Nadine berkeliling melihat berbagai jenis pakaian yang dipamerkan, hingga pandangannya tertuju pada satu booth yang menarik perhatiannya.“Permisi,” sapa Nadine sopan.Salah seorang penjaga booth segera menghampirinya.“Iya, Kak? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.“Saya ingin melihat pakaian ini, apakah boleh?” tanya Nadine sambil menunjuk salah satu gaun yang dipajang di manekin.“Oh, tentu boleh, Kak. Mau lihat yang warna apa?” tanya penjaga itu.“Ini tersedia dalam warna apa saja ya?” tanya Nadine kembali.Penjaga booth itu pun menunjukkan beberapa pilihan warna sambil menata lipatan kainnya.“Ini, Kak, ada warna biru, merah, putih, hitam, ungu, emas, dan coklat,” jelasnya.Nadine tampak tertarik pada yang berwarna biru karena terlihat elegan dan lembut di mata.“Saya ingin lihat

“Kau ini benar-benar ….”Leonhart menggelengkan kepala melihat tingkah Nadine yang semakin berani.Nadine pun tertidur. Ia sempat memasang alarm di ponselnya agar bisa terbangun sepuluh menit kemudian.Beberapa saat kemudian, suara alarm itu berbunyi nyaring. Dengan malas, Nadine meraih ponselnya lalu mematikannya.“Bangunlah, alarmmu sudah berbunyi dua kali,” ucap Leonhart.“Ah, benarkah?” tanya Nadine yang akhirnya bangun meski matanya masih berat menahan kantuk.“Ya. Mau sampai kapan kau tidur? Rekanmu nanti akan mencarimu,” ucap Leonhart sambil memeriksa beberapa dokumen di mejanya.Nadine yang masih mengantuk duduk perlahan, mencoba menyadarkan diri, lalu berjalan ke arah pintu. Namun sebelum ia benar-benar keluar, suara Leonhart memanggilnya lagi.“Nadine, kau melupakan dokumenmu,” ucapnya.Nadine langsung berbalik dan mengambil dokumen itu dari tangan Leonhart. Ia mengangguk sopan dan tersenyum tipis.“Aku pergi dulu. Terima kasih,” ucapnya sambil menutup pintu perlahan.Saat b

“Lama tidak bertemu, putriku.”Perkataan itu terasa seperti duri yang menusuk kulit Nadine. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan ibu tirinya di mal tempat ia memulai kehidupan barunya.Nadine terdiam, tak mampu menjawab. Perasaannya campur aduk antara terkejut, marah, dan muak.“Kenapa kau tidak menyapaku? Kau sungguh tidak sopan!” tegas Cecilia sambil melipat kedua tangannya di dada.Leonhart yang melihat ekspresi Nadine mulai berubah, segera mengambil alih pembicaraan.“Halo, Tante. Selamat siang, sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Leonhart dengan nada ramah.Namun Cecilia, yang memang tidak menyukai Leonhart, menjawab dengan ketus,“Ya.”Setelah itu, ia mulai mengintimidasi Nadine dengan nada sinis yang seolah menempatkan Nadine sebagai anak durhaka.“Kenapa kau tidak mengirim kabar setelah menikah? Apa kau sudah melupakan keluargamu?” tanyanya tajam.Nadine masih diam. Ia menunduk, mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi.“Ya, memang begitulah jadinya kalau merawat an