Bayangan waktu itu kembali muncul—Rayhan, wajahnya tegang, matanya penuh emosi saat mereka bertengkar, suaranya yang parau memohon agar Alesha percaya. Alesha menghirup napas dalam, mencoba mengusirnya, tapi hatinya berdebar. Ia tahu satu hal: jika ia membiarkan dirinya terlalu dekat, ia mungkin tak bisa menahan perasaan yang mulai tumbuh, dan itu berbahaya.“Lesh … kamu diem aja,” Zira menegur pelan, menepuk tangan Alesha. “Santai, dong. Aku cuma pengen kita senyum sebentar, nggak usah mikirin yang bikin ribet.”Alesha tersenyum tipis, memaksakan wajah ceria. “Iya, iya … makasih, Zira. Kamu baik banget.”Mereka mulai membuka percakapan ringan tentang kampus, dosen, dan rencana akhir pekan. Alesha mencoba membenamkan diri dalam obrolan itu, tapi setiap kata, setiap tawa, selalu diiringi bayangan Rayhan yang tak bisa ia hapus. Ia tahu harus tegas: menjaga jarak, menahan diri, dan tidak membiarkan emosinya mengambil alih.Setelah beberapa saat, Zira menatap sahabatnya lebih lama, masih
Terakhir Diperbarui : 2025-10-10 Baca selengkapnya