All Chapters of Ksatria Yatim Dan Gadis Tanpa Aura: Chapter 21 - Chapter 30

"Siapa dia, Nek?" Livia bertanya lagi, tatapannya waspada. Suara siswa di sekitar aula serasa hening."Teman lama yang kehadirannya membawa petaka..." Jawab Eleana, Lirih."Petaka? Apa maksudmu, Nek?" Tanya Arthur, menggoyang-goyang bahu Eleana."Kalian masih terlalu kecil untuk menanggung ini... Tapi baiklah!" Jawab Eleana, masih penuh misteri."Jika kalian bertemu pendekar dengan kekuatan musik, fokuskan hawa murni ke telinga kalian!" Eleana melanjutkan. "Jadi Nenek mengenal Serenia?" Tanya Livia, ucapan Eleana membangkitkan kenangan buruk malam kemarin."Kalian sudah bertemu dengannya? Waspadalah jika bertemu lagi!" Eleana memberi saran, dia mengeluarkan sesuatu dibalik jubahnya.Tampak sebuah botol berisi cairan, Eleana memberikannya pada Arthur. Eleana mengambil sebuah benda lagi, tampak sebuah buku, Eleana segera memberikannya pada Livia."Arthur, ini aku buatkan ramuan vitalitas pria untuk pertarunganmu besok." "Livia, ini buku ramalan ksatria terdahulu... Kamu harus segara m

Pagi hari menjelang pertarungan hidup dan mati antara Arthur melawan Edmond. Aula dipenuhi oleh siswa-siswi yang bersiap menyaksikan pertarungan tersebut, dari kejauhan Arthur berjalan melewati sebuah lorong.Pikirannya dipenuhi kenangan tentang hari-hari sebelumnya—saat memeluk Elixia, saat Leona bersandar, dan saat Livia berlutut memohon dirinya menjauhi Elixia. Di tangannya sebuah botol ramuan dari Eleana, Arthur menatapnya dengan pandangan kosong."Nenek, rasanya beban emosional lebih menguras dari kemampuan fisik aku yang tidak bisa merasakan sakit." Arthur bergumam, ragu kalau beban emosional bisa meningkatkan kekuatannya—bukan sebaliknya yang justru melemahkan.Terbayang penglihatan supranaturalnya di ruang musik. "Aku punya firasat... Akan ada kejadian yang jauh lebih besar dari sekedar Edmond," sebuah firasat buruk merayap di pikirannya.Di aula Arthur melihat Elixia dari kejauhan, mendorong pegangan kursi roda, mendekat kepadanya. Namun, Livia mengejar dari belakang, meraih

Arah sumber suara harmonika terdengar dari bubungan atap di salah satu bangunan SMA Skywhip. Suara harmonika semakin keras ketika sosok tersebut melayang di udara, melompat menuju arena. Belum juga menginjakan kaki di arena, beberapa penonton tampak berjatuhan, beberapa lainnya sujud, terkena aura mistis alunan nada harmonika yang sosok tersebut mainkan."Itu Serenia... Semuanya, pusatkan hawa murni ke telinga kalian!" Livia berteriak sekeras mungkin, menduga bahwa suara tersebut berasal dari Serenia yang ditemuinya di ruang musik.Di kerumunan Moonhaven, Lorens sang wasit dengan santai memasukan penyumbat ke telinganya, membuatnya tidak terpengaruh walau beberapa orang di kerumunan Moonhaven tumbang.Sementara itu, Elixia tertahih menuju Arthur yang terbaring di tengah arena. Dengan cepat mengulurkan tangan ke punggung Arthur, menyalurkan hawa murninya. Tampak Elixia tidak terpengaruh alunan musik dari Serenia, namun Arthur tetap tak sadarkan diri.Serenia mendarat, Livia menatap fo

Leona terperangah, matanya terbelalak. Wajah di hadapannya bagai pantulan cermin bening, menampilkan gambar dirinya sendiri."Apa tujuanmu... Kenapa kau meniru wajahku?" Tanya Leona."Menirumu? Kau hanya benih dari bajingan itu, pendekar berambut abu yang merenggut semuanya dariku!" Jawab Serenia, senyumnya menyeringai."Kau berhalusinasi... Aku tidak mengenalmu, lepaskan aku!" Seru Leona dengan keras, suaranya bergaung di ruang opera."PLAAAKKK!" Serenia menampar Leona, membuat wajahnya terhempas ke samping, pipinya memerah."Kau tidak punya sopan santun... Seorang anak dilarang membentak ibunya!" Pekik Serenia, menekan kedua sisi pipi Leona, lalu mencampakkannya."Cuiiihhh!" Leona memalingkan wajah, meludahi Serenia, matanya menyala penuh amarah.Serenia tersenyum sinis, cahaya bulan meredup, kegelapan hampir menguasai panggung opera, hanya lampu sorot ke arah piano masih bercahaya. Serenia melangkah perlahan menuju piano, derak panggung kayu berkejaran dengan detak jantung Leona.S

Di dalam penglihatan supranatural Leona...Di sebuah ruang kecil, diterangi lampu neon yang menggantung, menciptakan bayang bergerak di dinding berwarna putih.Tampak punggung seorang wanita, rambutnya berwarna cokelat, sebagian disanggul, sebagian dibiarkan terurai, tusuk rambut silver mewarnai keindahan rambutnya. Wanita tersebut duduk di kursi tanpa sandaran.Di hadapannya—agak sedikit menyerong— tampak seorang pendekar berambut abu, bertelanjang dada, dengan luka dalam di bagian perutnya, duduk bersandar di kursi lain.Wanita tersebut membalut luka sang pendekar dengan perban, penuh kehati-hatian, diiringi jeritan kecil sang pendekar, tangannya mencengkram kedua sisi kursi. Rambut abunya sedikit berantakan, tetes keringat menghiasi dahinya."Kapan kau akan berhenti bertarung? Aku tidak ingin kau menghadapi kematian." Tanya wanita berambut cokelat, nada suaranya penuh rasa khawatir."Aku tidak takut menghadapi kematian... Lolos dari kematian, kekuatanku semakin meningkat!" Jawab pr