All Chapters of PUTRI YANG TERTUKAR: Chapter 101 - Chapter 110

Dari kejauhan, di balik tiang batu besar dekat halaman, Helena berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada. Senyum tipis terukir di bibirnya, senyum yang penuh kemenangan.Matanya mengikuti langkah Ana yang perlahan menuju kereta. Tidak ada rasa haru, tidak ada duka. Yang tersisa hanya kepuasan. “Akhirnya, duri itu tercabut,” gumamnya dalam hati. “Tak ada lagi wajah asing yang merebut perhatian Pangeran Leon. Tak ada lagi ancaman di dalam kastil ini.”Helena bahkan hampir tertawa kecil ketika melihat Diana berlari sambil menangis, atau saat Madam Melisa terisak lirih. “Bodoh,” bisiknya pelan, meski tak ada yang mendengar. “Kalian menangisi orang yang seharusnya tak pernah menginjakkan kaki di sini.”Kereta mulai berguncang perlahan meninggalkan Ebony, roda besinya menimbulkan suara berderit di jalan berbatu. Perjalanan panjang pun dimulai.Ana duduk di kursi berlapis beludru, wajahnya tertutup veil abu-abu tipis. Tangannya meremas pangkuan, mencoba menenangkan dirinya. Di seberangny

Langkah-langkah sepatu besi para pengawal menggema ketika pintu besar balairung terbuka. Leon, menjulang dengan jubah kebangsaan Ravensel, masuk bersama Sir Juan di sisinya. Wajahnya dingin, namun sorot matanya penuh waspada. Di sisi lain ruangan, Ratu Seraphina duduk anggun di singgasana, senyum tipisnya seperti ukiran porselen yang sangat indah tapi misterius. Di samping sang Ratu, berdiri seorang gadis muda dengan gaun putih lembut seperti seorang bidadari, Putri Clarissa. Wajahnya tampak dibuat polos, mata berbinar seolah penuh kerinduan. Sementara itu Raja Alric tidak bisa menyambut kedatangan menantunya karena ia masih harus berbaring akibat penyakit menahunnya kambuh. Sosok yang berdiri di sisi lain ruangan itu adalah Duke Arvin–orang kepercayaan Raja Alric, tangan kanannya. Begitu melihat Leon, Clarissa menjatuhkan diri ke depan, suara gemetar namun manis. “Suamiku… akhirnya kau datang menjemputku.” Suaranya selembut beledu. Ia menatap Leon dengan tatapan menghiba. ‘Ayolah

“Yang Mulia Ratu, aku berterima kasih atas jamuan dan sambutanmu.” Suara Leonhart datar, tetapi penuh wibawa. “Namun satu hal harus kuluruskan sejak awal. Aku tidak akan berbagi kamar dengan Putri Clarissa.”Keheningan menyergap. Para pelayan yang masih sibuk menata ranjang saling berpandangan cemas di balik pintu kamar mewah yang terbuka itu. Ratu Seraphina mengerutkan kening. “Pangeran Leonhart, kau suaminya. Apa maksudmu dengan penolakan ini? Apakah kau ingin mempermalukan Velmont?”Tatapan mata Leon menyipit. “Suaminyakah? Aku menikah dengan seorang wanita yang kalian sebut Clarissa, padahal ternyata ia bukan. Bagaimana bisa aku mengakui pernikahan yang sejak awal penuh kebohongan?”Clarissa terperanjat, wajahnya memucat. “Pangeran… tapi aku—”Leon mengangkat tangan, menghentikan ucapannya. “Aku tidak berniat membicarakan ini di hadapan semua orang. Namun jangan pernah mengira aku akan begitu saja menurut.”Sorot tajamnya beralih ke Seraphina. “Siapkan kamar untukku saja.”Claris

Begitu langkah kaki Leon lenyap dari lorong penjara, Ana terduduk lemas di lantai dingin. Jemarinya masih bergetar, seolah energi terakhirnya terkuras habis karena perbincangan barusan.Hatinya diliputi keraguan yang menyakitkan. Kenapa dia bilang begitu? Kenapa matanya terlihat… tulus?Ia memeluk lututnya, menenggelamkan wajah di sela lengannya. Air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia ingin percaya pada Leon, tapi setiap kali wajah Ratu Seraphina terbayang, hatinya kembali mencelos. “Tidak mungkin seorang pangeran melawan perintah mertuanya sendiri… seorang Ratu agung,” bisiknya getir. “Demi seorang pelayan rendahan sepertiku,”Namun… sorot mata Leon tadi berbeda. Bukan sorot yang memandangnya sebagai pengkhianat, melainkan sebagai seseorang yang patut diselamatkan. Dan ucapan itu, ‘Aku tidak akan membiarkan mereka… atau kau… mati sia-sia.’Degupan jantung Ana semakin kacau. Seakan kalimat itu bukan hanya janji, melainkan sebuah pengakuan terselubung. Tentang perasaan pria itu padan

Aula perlahan sepi, beberapa bangsawan memutuskan untuk keluar. Sisanya para anggota dewan inti sibuk dengan perdebatan alot.Clarissa berdiri di dekat tiang pilar marmer. Wajahnya pucat, jemarinya bergetar memegangi lipatan gaunnya. Mengapa… mengapa dia membelanya?Pangeran Leon, suaminya meski hanya 'di atas nama', baru saja menantang seluruh dewan demi seorang gadis yang bahkan bukan siapa-siapa. Seorang gadis berasal dari kalangan rendahan.“Clarissa,” suara lembut Ratu Seraphina menyadarkannya. Sang Ratu menghampiri, gaunnya berdesir anggun. “Jangan biarkan hatimu goyah. Dia hanya sedang terbuai. Seorang pria mudah terpancing emosi.”Clarissa menoleh, bibirnya menekan keras, menahan air mata. “Tapi… Ibu, ia berdiri untuknya. Semua orang melihat. Aku merasa terhina, Ibu. Meskipun aku tak sudi menikah dengannya, aku tak terima dia lebih memilih pelayan rendahan.”Rahang Seraphina mengetat, senyum tipisnya menghilang. “Kalau begitu, kau harus pastikan dunia tahu siapa dirimu yang asl