Pipi Dinda semakin merona. Ia tampak malu, memainkan ujung gaun tidurnya di pangkuan. Ia menghela napas lagi, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, seolah ia sedang mengakui kejahatan terindahnya."Pak Rendra... dia berbeda dari yang kukira," katanya, matanya menatap ke kejauhan; seolah masih berada di sana, di suite mewah itu, bukan di ruang tengah rumah kami. "Dia nggak buru-buru. Dia... perhatian. Dia tanya apa yang aku suka, apa yang membuatku nyaman. Dia membuatku merasa... dihargai."Suaranya bergetar sedikit, campuran antara malu dan bahagia."Kami ngobrol dulu sambil minum wine. Dia cerita tentang hidupnya, tentang mantan istri-istrinya, tentang bagaimana dia merasa kesepian meski punya segalanya. Dia tidak tampil sebagai Direktur yang berkuasa, melainkan sebagai pria yang rapuh."Aku duduk terdiam, menyimak dengan baik. Jantungku berdebar kencang, berimajinasi setiap detail. Aku membayangkan Dinda duduk di sofa beludru mahal, mendengarkan curahan hati Direkturku, me
Última actualización : 2025-12-12 Leer más