บททั้งหมดของ Suami Berengsek, Istrimu Kini Hamil Anak Big Boss!: บทที่ 331 - บทที่ 340

Surat perjanjian itu... bisa dibilang dia menandatanganinya demi menyelamatkan Delara. Saat itu, dia benar-benar tidak menemukan cara lain.Akan tetapi, kalau semua itu bukan karena terpaksa, melainkan karena Shanaya memang menyukai Lucien dengan sepenuh hati... lalu bagaimana dia harus menjelaskannya?Dia tidak tahu harus menjelaskan dari mana.Kalau dia mengakui sesuatu sekarang, maka nanti saat pria itu kembali meninggalkannya, satu-satunya yang bisa disalahkan hanyalah dia sendiri.Sama seperti dulu semua orang hanya menyalahkannya. Mereka bilang Lucien sudah menanggungnya selama sembilan tahun, itu sudah lebih dari cukup. Namun, dia masih saja bermimpi ingin terus menempel pada Lucien seumur hidup.Melihat gadis itu menunduk diam tanpa sepatah kata pun, Lucien seolah bisa menebak isi pikirannya. Tangan besarnya terulur, menahan lembut belakang kepalanya. Dia menunduk sedikit, lalu menempelkan bibirnya pada bibir gadis itu yang lembut dan memerah.Begitu lembut.Lucien tidak terbur

"Ah!"Bianca berteriak histeris, melampiaskan amarah dan rasa tidak terimanya.Dia tahu Susana sedang tidak di rumah, dan Nyonya Ratna tinggal di lantai satu, jadi tidak ada yang akan mendengarnya.Ya, benar.Anak ini tidak boleh dipertahankan.Bianca segera mengeluarkan ponselnya, buru-buru membuat janji dengan dokter kandungan."Sudah malam begini, apa kamu sudah gila?!"Tiba-tiba suara Susana terdengar dari balik pintu kamar mandi. Bianca terkejut. Tubuhnya seketika menegang. Dengan cepat dia membuang alat tes kehamilan ke tempat sampah, menutupinya dengan beberapa lembar tisu, lalu mematikan layar ponselnya sebelum berjalan menuju pintu dan membukanya."Ibu, bukankah Ibu pergi ke pesta bersama Nyonya Tiana? Kenapa pulang begitu cepat?""Kalau tidak pulang lebih awal, bagaimana aku bisa dengar kamu berbuat ulah?"Susana menoleh sekilas padanya, mata penuh curiga saat menatap kekacauan yang berserakan di kamar mandi. "Apa yang terjadi ini? Jangan-jangan kamu melakukan sesuatu yang me

Setelah mengucapkan itu, Shanaya melepaskan genggaman di pergelangan tangannya dan melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah.Delara sedang asyik bermain game. Di sela-sela kesibukannya, dia menoleh sekilas ke arah pintu masuk dan sedikit terkejut melihat pintu rumah tak tertutup, lalu menatap arah tamu yang berjalan ke ruang tamu dengan rasa ingin tahu."Kenapa pintunya tidak ditutup?" tanyanya."Nanti Adrian akan datang," jawabnya singkat.Sebenarnya, Shanaya tidak berniat menyembunyikan apa pun dari Delara.Delara berhenti bermain game dan meletakkan ponselnya di samping, lalu menatapnya. "Untuk apa dia datang?""Dia… membantuku menyelidiki…"Shanaya melangkah mendekat dan duduk, sambil mengusap dada yang terasa nyeri dan sesak tanpa alasan. "Penyebab kematian orang tuaku dulu."Wajah Delara makin serius. Baru saja dia hendak berbicara, sudah terdengar ketukan di pintu. Adrian berdiri di luar.Meskipun mereka hanya tinggal di lantai atas dan bawah, entah kenapa sudah cukup lama tida

Awalnya, dia belum benar-benar tahu bagaimana harus memulai pembicaraan.Namun, sejak Nadira sudah menanyakannya, dia pun tidak ragu lagi.Melihat dirinya benar-benar bisa membantu, Nadira menghela napas lega dan langsung menjawab dengan tegas, "Kamu bilang saja, selama aku bisa membantu, pasti akan kubantu.""Berkas ini…"Shanaya mengambil berkas dari tasnya, berkas yang Adrian serahkan padanya tadi malam. "Bisa minta tolong dicek keasliannya?"Sebenarnya, dia sudah hampir yakin itu memang asli.Semua logika itu masuk akal.Namun, Shanaya sendiri tidak tahu, bagian mana dari hatinya yang masih belum mau menyerah, atau apakah dia hanya ingin memastikan sesuatu.Bagaimana jika…Bagaimana jika Adrian memang menipunya?Bagaimana jika kejadian ini sama sekali tak ada hubungannya dengan keluarga Lucien, dan Nyonya Gayatri hanya benar-benar tak suka padanya sehingga selalu menyulitkannya?Begitu Nadira mendengar, dia tak bisa menahan senyum. "Ah, ini cuma urusan kecil. Mau kuminta Elvano mem

Begitu Shanaya naik mobil dan sedan putih itu meninggalkan area parkir, Elvano baru bersiap untuk ikut pergi.Baru saja dia menyalakan mesin, terdengar ketukan di jendela mobilnya.Elvano menurunkan kaca, menoleh sekilas pada Rivaldi. "Kerja di rumah sakit ternyata sebebas itu, ya? Jam segini sudah bisa pulang?"Rivaldi terdiam.Rivaldi tahu, meski keluarganya mengizinkannya menekuni dunia medis, sebenarnya mereka tidak sepenuhnya setuju. Dia menahan dorongan untuk berbalik dan pergi. Kemudian, dia hanya tersenyum ringan, berusaha menjaga suasana tetap santai. "Kak, barusan kamu makan bersama Shanaya, ya?" tanyanya pura-pura tak tahu.Elvano mengetuk-ngetukkan jarinya pelan di kemudi, lalu menoleh sekilas. "Bukannya kamu sama Lucien sudah melihat dari atas cukup lama?" jawabnya tenang.Pikiran Shanaya sepenuhnya tertuju pada berkas itu, jadi dia sama sekali tidak sadar.Namun, Elvano sudah tahu sejak awal.Alis Rivaldi sedikit bergetar, tetapi dia tidak berusaha menyangkal. Dia malah b