Semua Bab Lahirnya Legenda Ksatria Abadi: Bab 41 - Bab 50

Bab 41. UJIAN TERAKHIR Suhu udara di puncak gunung Maung benar-benar sejuk saat pagi hari dan saat tengah hari rasa panas dari sinar matahari yang membakar tubuh semua murid baru tidak mereka rasakan. Semua murid boleh duduk maupun berdiri di tanah lapang ini, satu hari penuh mereka juga tidak diberi makan. Tentu saja hal ini membuat semua orang semakin tersiksa oleh rasa lapar. Demikian juga dengan Parmin, akan tetapi berbeda dengan Jaka Tole yang sudah terbiasa tidak makan selama berhari-hari, tubuhnya cukup kuat untuk menahan rasa lapar. Apalagi dia juga seorang pendekar level Raja tahap awal, sehingga rasa lapar, dingin maupun panas tidak bisa menyiksanya. Waktupun berjalan seperti siput yang merayap di dedaunan, begitu lambat dan mengesalkan dengan perasaan tersiksa oleh rasa lapar dan suhu udara yang mulai berubah dingin ketika senja mulai menjelang. Saat ini Jaka Tole duduk bersila di tempatnya sambil memejamkan mata, dia seperti t

Bab 43. MERASA BOSAN “Sekarang kalian boleh bubar dan bersiap untuk sarapan pagi bersama di pendopo yang ada di belakang. Nanti kalian akan diabsen dan akan diberi kamar khusus, kalian segera berkumpul di pendopo ruang utama untuk diabsen.” “Siap…!” Serentak semua orang berteriak dengan penuh semangat, begitu mendengar pengaturan murid senior. Semua orang segera mendapatkan rumah penginapan dengan satu kamar berisi dua orang. Kebetulan Jaka Tole satu kamar dengan Parmin, ini merupakan keberuntungan bagi mereka berdua. Setelah semua orang menemukan kamar yang sudah diatur oleh murid senior, dan saat mereka baru saja merebahkan diri diatas tempat tidur yang hangat, tiba-tiba saja terdengar suara kentongan yang dipukul berulang kali dengan kode memanggil semua orang untuk berkumpul. Setiap suara ketukan dari kentongan yang dipukul, mempunyai kode dan arti yang berbeda-beda. Akan tetapi sebagai masyarakat asli Jawadwipa, mereka

Bab 45. MEMBENTUR FORMASI PELINDUNG “Suara apa ini? Kenapa suaranya menggelegar dan sangat menakutkan?” gumam Jaka Tole yang terus berlari di dahan pohon. Langkah Jaka Tole terhenti, ketika dia melihat di depannya lebih tepatnya di bawah pohon terlihat ada seekor harimau loreng kuning yang sangat besar sedang berjalan dengan gagahnya. Sambil berjalan, harimau loreng itu terlihat sambil mengaum mengeluarkan suara-suara yang menggelegar. Harimau ini merupakan jenis harimau Jawa, karena berada di hutan belantara yang ada di negeri Jawadwipa. Keberadaan Jaka tole yang ada di atas pohon setinggi sepuluh meter dari tanah, sepertinya tidak diketahui harimau itu. Karena Jaka Tole merasa tidak berkepentingan dengan harimau itu, dia menghiraukannya dan terus berlari semakin dalam hutan Larangan. Pohon-pohon semakin besar, begitu Jaka Tole memasuki bagian dalam hutan Larangan, bahkan saking besar dan lebatnya pohon-pohon di tempat ini, matah

Bab 47. MPU JAKA LODANG Ternyata tulisan di atas lempengan batu giok es yang hanya sebesar telapak tangan itu, bukan sekedar tulisan biasa, akan tetapi sebuah simbol atau diagram aneh seperti lingkaran dan kotak-kotak kecil yang berisi angka serta huruf-huruf jawa kuno yang aneh. “Tulisan apa ini? kenapa aneh sekali. Apakah ini batu perhiasan?” gumam Jaka Tole yang memang belum terlalu berpengalaman dengan sesuatu yang ada di alam semesta ini. Hal ini tentu saja sangat wajar, karena masa remaja Jaka Tole berada di jurang Malaikat selama sepuluh tahun dan terisolasi dari pergaulan dengan sesama manusia. Karena penasaran Jaka Tole berniat untuk memasukkan lempengan batu giok es itu ke dalam penyimpanan gua garbanya. Akan tetapi sebelum niatnya terlaksana, tiba-tiba ada suara tanpa rupa yang menggema di dalam gua ini. Suara ini terdengar serak dan dalam, menggema di dalam gua ini. “Anak muda, kamu dilarang membawa pergi lempengan batu gi

Bab 49. PENGUMUMAN MENGHEBOHKAN Seketika pikirannya mulai tercerahkan atas keanehan yang sejak awal dialaminya. Kini dia langsung mengenali formasi pelindung yang membuatnya tidak bisa masuk kebagian terdalam hutan ini. Sebuah senyuman seketika menghiasi sudut bibirnya, karena kini dengan segala keberuntungan yang dimilikinya. Sekarang kemampuannya tanpa diduga mulai bertambah, yaitu mengenai teknik formasi. “Kakek…” Ucapan Jaka Tole terhenti saat dia ingin memberi hormat kepada sosok tubuh yang hanya tersisa tulang terbungkus kulit di depannya. “Kakek pertapa… kamu pergi kemana?” “Kakek…!” Jaka Tole memanggil tubuh yang tinggal tulang di depannya, dia sampai kebingungan melihat keanehan ini. Bagaimana tidak aneh, dia sejak tadi berada didepan sosok pertapa yang tinggal tulang berbalut kulit saja. Tapi… kini, disaat dia ingin mengucapkan terimakasih, sosok tubuh yang tinggal tulang itu sudah menghilang. Jaka T