All Chapters of Pelayan Cantik Tuan Arogan: Chapter 41 - Chapter 50

Suasana kantor tampak tenang. di ruang rapat lantai 27, dua orang tengah duduk berseberangan dalam percakapan yang tidak seprofesional biasanya. Pertemuan itu awalnya hanya untuk finalisasi revisi kerja sama. saat sesi selesai lebih cepat, Nadia tidak langsung pergi. Ia tetap duduk di kursinya, sambil menatap jendela besar yang menampilkan langit Jakarta yang kelabu. “Gi, Kamu masih suka hujan, ya?” tanyanya tiba-tiba. Gian mengangkat alis. “Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Nadia tersenyum, lalu menoleh. “Aku ingat waktu kita di Amsterdam. Kamu selalu keluar pas hujan cuma buat jalan kaki tanpa tujuan. Katamu, suara hujan bikin kamu tenang .” Gian terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Aku masih suka., kalau sekarang aku jarang punya waktu buat nikmatin itu.” Nadia menyandarkan tubuhnya ke kursi, se

Ruang rapat siang itu kembali terisi. Suasana tidak seformal biasanya karena pertemuan kali ini hanya lanjutan pembahasan proposal kerja sama yang sebagian besar sudah disepakati. Yang membuat suasana berbeda bukan isi rapatnya, melainkan orang orang di dalamnya. hanya internal dan beberapa karyawan yang dilibatkan dalam proyek ini. Gian duduk di ujung meja, terlihat sedikit lebih santai dibanding biasanya. Sesekali ia tertawa kecil mendengar celotehan Nadia yang duduk tepat di sebelahnya. Afie duduk di sisi berlawanan, fokus ke layar laptopnya, jari-jari sibuk mengetik, tapi telinganya menangkap semua. “Eh, Gi. kamu masih suka coret-coret kertas kalau pas lagi mikir, ya.. susah ya kalau sudah kebiasaan?” Nadia tiba-tiba berkata sambil menunjuk kertas kecil yang penuh sketsa dan tulisan tangan Gian. Gian hanya tertawa. “Iya, Kebiasaan lama yang susah hilang.” “Aku ingat banget. Dulu kamu selalu bawa pulpen warna hitam. Tinta gel, bukan tinta biasa. Bahkan pernah marah ka

Pagi itu, Jakarta diguyur hujan tipis. Langit kelabu seolah jadi cerminan hati Afie yang belum bisa tenang sejak beberapa malam di rumah sakit. Tidurnya tak nyenyak. Satu-satunya hal yang terus terbayang adalah moment itu, tangan Nadia yang menggenggam tangan Gian dan tidak menolaknya. Hatinya hancur, namun ia tetap berusaha kuat. Untuk ibunya. Untuk dirinya sendiri. Ketukan di pintu apartemen membuyarkan lamunannya. Afie membuka pintu perlahan. Di sana, berdiri seseorang yang paling ingin ia temui tapi juga paling ingin ia hindari pagi itu. Gian, Wajahnya terlihat lelah, seperti tidak tidur semalaman. Tangannya membawa kantong plastik berisi sarapan dan satu termos kecil. “Yang, Boleh aku masuk?” tanyanya pelan. Afie diam sejenak, lalu melangkah mundur. Gian meletakkan bawaan ke meja. “Mas tahu kamu marah. Mas cuma pengen ngobrol. Mas nggak bisa tenang kalau kita begini terus.” Afie berdiri bersandar di dinding. “Kita?” ulangnya pelan. “Kita kenapa, Mas?” Gian m

Hari keempat di rumah sakit. Afie nyaris tak meninggalkan sisi ranjang ibunya. Meski tubuhnya sudah lelah dan pikirannya nyaris kosong, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan: rasa tidak percaya. Ia tidak bisa percaya ini hanya kebetulan. Ibunya yang sehat tiba-tiba kolaps. Lalu kabar tentang pamannya yang mulai memegang kendali atas sebagian saham perusahaan mendiang ayahnya. Terlalu rapi. Terlalu cepat. Terlalu janggal. Suara mesin monitor terus berdetak, seperti jam yang menyiksanya secara perlahan. Detik demi detik mengiris rasa tenang yang semakin sulit ia temukan. Afie duduk, menyenderkan tubuhnya pada kursi keras di sudut kamar. Di tangannya, ponsel tetap diam. Tidak ada pesan dari Gian. Tidak ada kabar. Tidak ada pelukan, tidak ada tatapan yang biasanya mampu menenangkannya hanya dalam satu detik.

Afie terus berlari menuruni tangga rumah sakit dengan napas memburu dan mata yang basah. Suara derap langkahnya menyatu dengan gemuruh di dalam dadanya. Dunia seperti runtuh semalam, dan pagi ini hanya memperjelas reruntuhan itu. Ponselnya bergetar berkali-kali, namun ia tak peduli. Nama Gian berulang kali muncul di layar, dan setiap kemunculannya hanya membuat luka itu terasa terbuka kembali. Ia keluar dari pintu darurat ke area parkir belakang rumah sakit, lalu berhenti, memegangi lututnya yang gemetar. Tangisnya pecah lagi, seperti sungai yang tak sanggup lagi menahan air bah. Gian mengejarnya sampai halaman rumah sakit. Wajahnya panik, napasnya tak beraturan. begitu melihat Afie berdiri di sana, dengan wajah sembab dan tubuh terguncang, ia berhenti. Seolah tak punya hak untuk lebih dekat. "Sayang....." suaranya berat, pelan.