All Chapters of 200 Hari Jadi Pacar Pura-pura Pewaris Tampan: Chapter 91 - Chapter 100

Foodcourt kampus dipenuhi suara langkah dan obrolan mahasiswa. Di deretan penjual, antrian pembeli mengular. Aroma mie goreng, soto, bakso, nasi goreng bercampur di udara. Di salah satu meja tengah, Haikal dan Lia bergabung bersama Mario dan Rendi yang sudah lebih dulu duduk. Suasana begitu ramai, tapi meja mereka terasa seperti ruang sendiri di tengah kebisingan. Haikal menaruh pesanan di depan Lia sebelum duduk. Sendok dan garpu beradu pelan, diselingi tawa Rendi yang bercerita tentang dosennya yang typo di grup kelas. Lia hanya menimpali seperlunya, sementara Haikal ikut menceritakan persiapan pernikahan kakak laki-lakinya yang—membuatnya super sibuk meski bukan yang menikah. “Abang lo umur berapa, Kal?” tanya Mario kemudian. “Dua puluh delapan.” “Emang udah waktunya itu mah. Calonnya orang mana?” “Tetangga sebelah doang. Nikah sama bestie-nya sendiri,” jelas Haikal kemudian. Sejurus kemudian suara deheman terdengar dari Rendi yang duduk di sebelahnya. Lia menatap temannya itu

Damian menarik napas panjang, matanya kosong menatap undangan itu lagi. Lia tidak mengerti, tetapi beberapa menit kemudian, cerita masa lalu itu mengalir begitu saja dari mulut Damian. Cerita yang selama ini lelaki itu tutupi. Padahal ia selalu mengira Damian tidak bercerita karena menjadi pelaku. Padahal lelaki itu justru korban yang tidak bercerita karena melindungi orang yang ia cintai. “Waktu itu Arin dateng malem-malem ke apartemen gue. Dia nangis, bilang minta maaf. Gue bingung ada apa. Setelah dia cerita, dada gue sesek berasa dipukulin orang sekampung. Gue nggak nyangka sama apa yang gue denger malem itu.” Suara Damian serak, seperti diseret keluar dari tenggorokan yang kering. “Dia pacar gue, Li. Pacar gue. Dan dia dateng ke sini tengah malam, nangis-nangis sambil bilang dia hamil.… Padahal gue selalu jagain dia selama ini. Kita nggak pernah pacaran kelewat batas. Tapi dia dateng dan bilang selingkuh sampai hamil….” Damian menunduk, tertawa hambar. “Gue pengen marah. Pengen

“Dam … lo nggak seharusnya sedih kayak gini. Lo harusnya bersyukur. Karena kejadian itu, lo jadi tahu gimana Arin sama Juna sebenarnya. Lo dikasih kesempatan buat liat mereka tanpa topeng, sebelum terlambat. Sebelum hubungan lo makin jauh, Secinta apa pun lo sama Arin sekarang, dia nggak pantes buat lo. Lo bukan kehilangan orang yang lo cinta, lo cuma diselamatin dari orang yang salah. You deserve someone better, Dam. You have to move on after this. Gue bakal bantu lo.” Ucapan panjang lebar dari Lia beberapa menit yang lalu membuat hati Damian lebih ringan. Ia berpikir banyak hal setelahnya. Apa yang Lia ucapkan ada benarnya. Dulu ia memang secinta itu pada Arin, tetapi itu dulu. Tidak semua orang pantas untuk terus ditangisi dalam hidup. Lebih-lebih Arin sudah bahagia. Meski dengan orang yang kali ini begitu ia benci—sahabatnya sendiri. Lia tiba-tiba bangkit berdiri, mengulurkan tangan pada Damian yang masih duduk bersandar di sofa. Ia mendongak, melihat uluran tangan gadis itu unt

Angin sore di PIK membawa aroma laut yang asin, berpadu dengan wangi kopi dari kafe tepi jalan. Lia bersandar di kursi kayu, menatap ombak yang berkejaran di kejauhan. Di sebelahnya, Damian duduk dengan kedua tangan di saku hoodie, wajahnya nyaris tanpa ekspresi seperti biasa. “Gue nggak nyangka llo mau gue ajak pergi keluar,” kata Lia akhirnya. “Gue bosen di rumah,” jawab Damian datar, pandangan masih lurus ke depan. “Lagipula, lo bakal maksa juga kan walau gue nolak?” Lia tersenyum. “Daripada lo stress di apartemen, mending cari angin.” Hening sesaat. Angin bertiup lagi, menyingkap beberapa helai rambut Lia. Damian melirik sekilas lalu mengalihkan pandangan, pura-pura tidak peduli. “Masih kepikiran Arin?” tanya Lia pelan. Damian menatap laut lebih lama sebelum menjawab, “Nggak tahu. Kalau jadi gue, emang lo nggak bakal kepikiran?” “Kalau jadi lo, gue bakal putus hubungan dari mereka berdua. Gue nggak akan anggep mereka temen lagi. Gue bakal menjauh dari orang yang ngekhianati

“Lo naksir gue sejak dulu, ya?” “Bukannya lo yang naksir gue?” Seperti biasa, pertanyaan terakhir itu ditanya balik seperti biasa. Jika dilanjut Lia tahu perihal tuduh menuduh itu tidak akan selesai. Damian akhirnya bangkit dari kursi setelah minuman yang lelaki itu pesan habis. “Mau ke mana?” tanya Lia kemudian. “Jalan-jalan.” Lia bangkit berdiri, ikut mengekor Damian menyusuri PIK di malam hari. Mereka menyusuri boardwalk pelan-pelan. Langit sudah hampir benar-benar gelap, tapi lampu-lampu kuning menggantung di sepanjang jalur membuat semuanya tampak hangat. Ombak kecil memecah tanpa suara keras, hanya desiran halus yang jadi latar musik alami. Orang-orang masih ramai, tapi tidak ramai yang berisik; hanya riuh rendah langkah dan percakapan yang samar. Damian berjalan di sebelah Lia tanpa bicara. Hanya saja kali ini heningnya berbeda. Bukan hening yang menekan, melainkan hening yang nyaman. Seperti seseorang yang akhirnya bisa menarik napas dalam-dalam setelah menahan selam