Pagi datang terlalu cepat. Damian membuka mata dengan kepala berat, seolah pikirannya belum sempat berhenti sejak semalam. Ia bangun perlahan, duduk di tepi ranjang, menatap cahaya yang menembus tirai kamar apartemennya. Biasanya, ia akan membiarkan hari dimulai dengan kopi dan musik. Tapi pagi ini, bahkan aroma kopi tak cukup menenangkan. Hatinya masih kosong perihal undangan pernikahan yang Arin berikan kemarin. Paginya, ia jadi memikirkan telepon dari ayahnya. Nada suara yang terlalu tenang, kalimat yang terlalu singkat—dua hal yang selalu berarti “ada sesuatu yang besar.” Setelah mandi, Damian berdiri di depan cermin. Kemeja putih, celana bahan abu gelap, jam tangan yang jarang ia pakai kecuali untuk urusan keluarga. Ia menarik napas panjang, mencoba memantapkan diri. “Cuma ngobrol,” gumamnya, meski dalam hati ia tahu: Papa tidak pernah sekadar mengobrol. *** Rumah besar itu berdiri seperti biasa. Rindang, rapi, terlalu tenang. Damian masih hafal setiap detailnya: batu-batu
Last Updated : 2025-11-10 Read more