All Chapters of Kebangkitan Sang Raja Teknologi: Chapter 21 - Chapter 30

Skrip itu kini hampir rampung. Di layar, rangkaian karakter-karakter kecil tampak acak bagi mata awam, tapi bagi Raven dan Freya, itu adalah sebuah bentuk keindahan yang sangat presisi. Setiap baris kode dirancang untuk satu tujuan yang sangat spesifik. Menyelinap masuk, mengaktifkan celah digital tersembunyi, memutar balik logika pasar, lalu menghilang tanpa suara. Skrip itu kecil. Ringan. Tapi dalam ekosistem digital antara Aurora dan CyberShield yang nyaris sempurna, ia seperti serpihan kaca yang dilempar ke roda mesin. Kecil, tapi mematikan.Freya menyelesaikan baris terakhirnya, menambahkan delay penutup dan pemicu pembersih otomatis. Matanya lelah, tapi ada api yang belum padam di baliknya. Ia mengetuk keyboard satu kali, kencang, lalu berseru sambil bersandar ke belakang, melepas napas panjang."Beres!" Suaranya ringan, tapi matanya serius. "Tinggal nunggu sinyal dari Tirta dan lampu hijau darimu, Bos."Raven tak langsung menjawab. Ia menatap skrip itu cukup lama, memastikan ta

Kegelapan itu sempat terasa menelan segalanya. Napas mereka terdengar seperti suara asing di tengah keheningan yang rapuh. Butuh waktu beberapa detik sebelum dengungan halus kembali mengisi udara, seperti kehidupan yang merangkak masuk lagi ke dalam ruangan. Lampu darurat menyala pelan, menebarkan cahaya oranye kusam yang memantul di dinding. Peralatan penting satu per satu aktif kembali, walau monitor besar tetap mati, menyisakan layar hitam yang membuat jantung tetap waspada."Semua baik-baik saja?" suara Raven memecah sunyi. Tidak keras, tapi cukup untuk terdengar di seluruh ruangan. Balasan datang bergiliran, pendek dan terburu, dari Clara, Tirta, lalu Leo, masing-masing masih bersembunyi di balik meja atau peralatan mereka. Tidak ada tanda kerusakan. Tidak ada yang terluka. Hanya detak jantung yang sedikit terlalu cepat."Freya?" panggil Raven lagi. Tidak ada jawaban. Dia menengok kiri dan kanan, pandangannya menyusur ruangan. dan baru sadar ada seseorang berdiri sangat dekat di

Lampu-lampu monitor menyinari wajah tim Quantix yang tegang. Di layar utama, hitungan mundur merah menyala besar: 00:30:00. Setiap detik terasa lebih berat dari sebelumnya. Sinyal dari Tirta baru saja masuk. Ia sudah berada di posisi, terselip di dalam CyberShield. Jendela waktu mereka kini terbuka, sempit dan rapuh.Raven menghela napas, menenangkan denyut di dadanya. “Baiklah,” katanya, suaranya memotong keheningan seperti pisau. “Operasi Aurora, fase satu, dimulai sekarang. Freya, luncurkan paket data pertama.”Freya mengangguk tanpa menoleh. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard, bunyi ketikan berpadu dengan dengung pendingin server. “Paket diagnostik dikirim,” lapornya dengan nada datar namun mantap. “Menyamar sebagai log pemeliharaan rutin dari server arsip. Tidak ada yang akan peduli melihatnya. Seharusnya bisa lewat tanpa masalah.”Leo condong ke depan, matanya terpaku pada grafik lalu lintas jaringan. Garis-garis data berwarna hijau merayap di layar, menembus representasi

Suara Raven memecah kepadatan udara di markas Quantix.“OK waktu masih sempit, guys. Cuma lima menit dan terus berkurang!” Nada bicaranya tidak memberi ruang untuk santai. Pesan dari Tirta yang baru masuk menambah lapisan tekanan. Musuh internal kini sudah waspada, mata mereka terbuka lebar. Tidak ada waktu untuk membiarkan kemenangan kecil berubah jadi kelengahan.Freya menggeser kursinya ke depan, tubuhnya condong menempel meja. “Akses ke interface debugging alpha sekarang terbuka,” ucapnya cepat, jemarinya menari di atas keyboard dengan presisi seorang pianis yang hafal betul notasi. “Mencoba otentikasi…”Tiga detik kemudian, layar utama menampilkan huruf kapital yang

Tirta menutup laci mejanya untuk terakhir kali. Kotak karton di atas meja sudah terisi barang-barang pribadinya selama bekerja di CyberShield. Operasi telah selesai, dan pesan konfirmasi dari Raven sudah ia baca, lalu ia hapus tanpa ragu. Ia memandangi meja yang kini kosong, merasakan campuran lega dan kehampaan. Tempat ini sudah menjadi medan perang yang sunyi selama berminggu-minggu, dan ia tahu ia tidak akan kembali besok.Ia mengangkat kotak itu dengan satu tangan dan melangkah keluar menuju lorong. Lampu-lampu kantor memantulkan cahaya dingin di lantai marmer, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, langkahnya terasa ringan. Ia membayangkan udara malam di luar, suara lalu lintas, dan rasa kebebasan yang menunggu di balik pintu keluar.Lift berbunyi lembut saat pintunya terbuka di lobi. Namun, napas Tirta sedikit terhenti.“Sial…”Di dekat pintu keluar, Radja dan Valeria sedang berdiri, berbincang dengan seorang klien berjas abu-abu. Mereka terlihat santai, tapi mata Radja