Monitor raksasa di dinding memantulkan wajah-wajah yang tegang. Kursi-kursi ditarik mendekat, meja kerja berubah fungsi menjadi meja taktis. Kabel berseliweran di lantai, laptop-laptop terbuka menampilkan potongan kode, simulasi jaringan, dan grafik keamanan yang berdenyut seperti detak jantung. Tidak ada yang berbicara selama beberapa detik, hanya suara kipas pendingin server di ruang sebelah.Clara memecah keheningan.“Kita nggak bisa cuma nunjukkin barisan kode,” katanya sambil melirik layar penuh teks hijau. “Mereka bukan programmer. Mereka adalah dewan direksi. Mereka butuh sesuatu yang wow.” Tangannya mengetuk meja, ritmenya cepat, seolah mendorong otak semua orang untuk bergerak lebih cepat.Tirta mencondongkan tubuh.“Bag
Tirta masih berdiri di depan meja kerja Raven, tangannya menekan sisi laptopnya seolah berusaha meredam ketegangan. Wajahnya serius, nada suaranya tegas namun terukur. "Mereka profesional, Rave. Beda level sama anak-anak junior yang baru direkrut. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan sesuatu.""Bagus," jawab Raven tanpa jeda, membuat semua kepala menoleh padanya. Nada datarnya justru terdengar seperti provokasi. "Biarkan Radja sibuk mencari jarum di dalam tumpukan jerami di sistemnya. Secepat apa pun mereka, itu tetap memberi kita waktu untuk berburu di dunia nyata."Clara baru saja menutup panggilan teleponnya. Tangannya masih memegang ponsel, namun sorot matanya sudah terkunci pada Raven. "Kau benar kita harus berburu," ucapnya pelan. "Tapi sepertinya mangsanya sudah menyiapkan jebakan sendiri untuk kita."Alis Raven terangkat. "Jelaskan.""Aku baru saja mendapat konfirmasi jadwal pertemuan dengan TransGlobal," kata Clara sambil menaruh ponselnya di meja. "Mereka juga mengun
Setelah pengakuan Raven tentang Dominion, udara di bunker Quantix terasa berbeda. Bukan lagi kepanikan yang menguasai mereka, melainkan ketegangan yang terarah. Sorot mata yang tadi gelisah kini lebih tajam, seolah masing-masing baru saja mengerti bahwa permainan yang mereka jalani bukan sekadar adu kecerdikan di layar, tapi perebutan kendali yang bisa menentukan nasib banyak orang.Raven menutup file yang masih terbuka di mejanya, lalu menatap semua orang."Kita bisa bahas Dominion nanti," ujarnya dengan nada memutus."Untuk saat ini, musuh di depan mata kita adalah CyberShield. Jangan sampai ini menggeser target prioritas kita." Ia lalu menggeser layar tablet ke tengah meja. Angka-angka pada grafik keuangan yang baru saja ia peroleh dari sumber Tirta menampilkan tren menurun yang tajam di beberapa lini
"Udah, ga usah macem-macem," ujar Freya sambil menatap Tirta tajam. Tangannya menyilang di dada, nada suaranya tegas, tak mau berlama-lama di permainan dramatis Tirta. "Cepetan kasih tahu aja dua-duanya."Tirta menghela napas, lalu merogoh ponselnya. "Oke... kabar buruknya, Radja sudah menemukan modul AI di akun Aurora yang kita serang. Dia sudah mulai membuat update security-nya. Dan bukan cuma itu, dia juga menggandakan sistem keamanan siber CyberShield secara umum. Jadi... kita nggak cuma berhadapan sama benteng yang sama, tapi benteng itu sekarang punya pertahanan berlapis."Leo yang sedang mengetik berhenti, jemarinya menggantung di atas keyboard. "Kalau update-nya udah jalan, kita harus nyiapin exploit baru. Itupun kalau mereka nggak terlambat," gumamnya.Tirta mengangguk, wajahnya makin serius. "Kabar yang lebih buruk... aku dapat dari kontak lamaku di forum tertutup. Radja baru saja menyewa seorang hacker bayaran dari dark web. Seseorang dengan nama alias... Nyx."Suasana bu
Jam digital di dinding bunker berpindah dari 07:59 ke 08:00. Tidak ada cahaya pagi yang merembes dari jendela, tak ada jendela disini. “OK gantian…!” Raven berseru.Beberapa anggota tim junior yang baru saja direkrut untuk mempercepat perkembangan mereka, menutup laptop dan bergeser ke area istirahat, sementara yang lain bangkit dari kasur lipat, menyambar mug mereka sebelum masuk ke stasiun kerja.Di dekat pintu baja utama, Leo berdiri tegak dengan tablet di tangan. Dengan Tirta di sisinya, ia mengatur zona keamanan, membagi wilayah operasi. Tirta mengetuk layar laptopnya, menampilkan peta panas yang bereaksi setiap kali mereka melintas di depan sensor.“Kalibrasi biometrik ini sensitifnya setengah mati,” gumam Tirta sambil mengernyit. “Kalau sidik jari basah sedikit saja, dia error, ga bisa input data.”“Cuma pas kalibrasi doang, kalau udah ke-save, akurat kok.” jawab Leo, matanya tak lepas dari panel konfigurasi. “Kalau ada yang nekat, dia akan terjebak di lorong sebelum pintu ini
Setelah peta digital dibagikan, mereka berpencar, masing-masing mengambil jalur berbeda untuk memastikan tak ada yang mengikuti. Clara memutar gas motor Ducattinya, mesin menderu rendah namun bertenaga. Ia memilih jalan kecil di antara gudang-gudang kosong, memanfaatkan bayangan lampu jalan yang temaram untuk menghilang dari pandangan. Sesampainya di lokasi, ia memarkir di sudut gelap di belakang tumpukan peti kontainer. Jaket motor hitamnya menyatu dengan kegelapan, membuatnya nyaris tak terlihat.Freya datang berikutnya, dan kedatangannya mustahil luput dari perhatian. Raungan mesin Ferrari merahnya memantul di antara dinding beton, disusul lampu depan yang memotong kegelapan. Di kursi penumpang, Leo duduk santai dengan kacamata hitam yang entah untuk gaya atau sekadar kebiasaan. Mobil itu berhenti tepat di depan Clara.Clara menggeleng, setengah ingin tertawa, setengah frustasi. “Kalian itu bener-bener nggak ngerti artinya bergerak diam-diam ya?” gumamnya, sambil melepaskan helm.