All Chapters of Kebangkitan Sang Raja Teknologi: Chapter 51 - Chapter 60

“Profilingmu sangat menarik, Clara. Tapi lihat yang aku temukan,” ujar Raven.Tanpa basa-basi, dia mengetik beberapa perintah cepat, lalu layar utama berganti tampilan. Deretan log transaksi cryptocurrency muncul, dipenuhi angka-angka dan kode yang tampak acak bagi mata awam. ID dompet digital, catatan perpindahan saldo, dan tautan ke beberapa situs judi ilegal tersusun rapi, seakan papan bukti di ruang sidang. Semua jejak digital itu mengarah ke satu nama.Hakim Bagaskara.Keheningan yang berat langsung menyelimuti ruangan. Mata semua orang terpaku pada layar, sulit percaya pada apa yang mereka lihat. Leo bersiul pelan, panjang. “Wow,” gumamnya sambil mengangkat alis. “Sang hakim yang terhormat ternyata punya hobi yang … mahal.”“Ini lebih dari sekadar hobi,” kata Raven datar, tangannya menunjuk beberapa baris tertentu di layar. Ada transaksi besar, berulang, jumlahnya tidak wajar. “Ini adalah korupsi. Pola yang sangat jelas. Dana masuk sebelum putusan keluar. Itu bukan kebetulan.

Freya mencondongkan tubuhnya ke depan, jemari lincahnya menari di atas keyboard. Cahaya layar membias di kacamata tipisnya. “Mulai mengaktifkan injeksi…” bisiknya hampir tanpa suara. Leo di sampingnya menahan napas, matanya tak lepas dari huruf-huruf dan angka yang terus bergulir di monitor.Di meja lain, Kinar masih sibuk dengan tumpukan dokumen kasus. Tablet di depannya menampilkan lembar-lembar digital yang penuh pasal hukum. Tiba-tiba, layar itu berkedip. Semua jendela tertutup dengan paksa, digantikan oleh satu halaman hitam. Teks putih sederhana muncul, berdiri sendirian, dingin dan jelas.“Kebenaran tidak selalu ditemukan di ruang sidang, Jaksa Kinar. Terkadang, ia datang saat Anda sedang minum kopi.”Kinar menegang, tak percaya dengan apa yang muncul begitu saja di layar tablet itu. Tangan kirinya berhenti di atas cangkir, sementara tangan kanan masih menyentuh layar tablet. Sejenak, kafe itu terasa terlalu sunyi baginya. Denting sendok, bisik percakapan, bahkan suara musik la

Freya dan Leo tiba di bunker secara terpisah, wajah mereka masih memerah oleh sisa adrenalin. Napas mereka memburu, tubuh tegang seolah masih berada di medan bahaya. Begitu pintu bunker tertutup rapat di belakang mereka, suara dentuman kunci elektronik bergema, menegaskan bahwa mereka akhirnya aman.Raven, Tirta, dan Clara sudah menunggu. “Apa yang terjadi?!” suara Raven tajam dan khawatir. Tatapannya langsung mengunci ke Leo dan Freya.Leo menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat, mengusap wajahnya keras-keras sebelum akhirnya berkata cepat, hampir tanpa jeda. “Gila pokoknya. Gua ga nyangka ternyata serangan baliknya cuma pengalih perhatian biar bisa menangkap basah kita. Kita... kita hampir kejebak tau nggak?.”Freya menyela dengan nada getir. “Hampir? Kita emang udah kejebak kali. Kalau bukan karena trik konyol Leo, kita pasti udah digiring keluar sama sekuriti. Atau lebih buruk lagi, diborgol dan dipenjara.”Raven terdiam, rahangnya mengeras. Tirta menatap mereka berdua, tak percaya.

Raven menarik napas pelan, mencoba menjaga ketenangannya. “Ok… apakah ini berarti kita melakukan semua ini untuk idealismemu?” suaranya datar, nyaris sinis. “Apa yang kau dapat dari semua ini, Kinar? Kenapa repot-repot mengorbankan karirmu, mengambil resiko … demi kasus yang bahkan bukan milikmu?”Kinar menoleh sedikit, cukup agar bayangan wajahnya terlihat di sisi Raven. Matanya menyala, penuh keyakinan.“Keadilan,” jawabnya singkat. Padat.Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, nada suaranya kini berubah, lebih menusuk, seakan sedang menguliti isi kepala Raven.“Dan jangan kira aku tidak tahu apa maumu. Aku tahu kasus Quantix ini … tidak substansif secara hukum. Itu cuma kasus penjegalan. Kasus yang dirancang untuk menyeretmu ke pusaran reputasi, membuatmu kehabisan sumber daya finansial dan waktu. Mereka cukup cerdas, dengan melibatkan firma sebesar Noire Advocates, tapi aku harus akui, aku kagum dengan bagaimana kau bereaksi.”Raven tetap diam, tapi bola matanya bergerak, Kinar

Selama beberapa jam berikutnya, Raven berdiri di depan layar utama, memimpin orkestrasi. Freya mengetik dengan cepat, Leo memantau lalu lintas jaringan, sementara Tirta mengatur enkripsi berlapis untuk setiap pesan yang keluar.Mereka melakukannya berulang kali. Mengirimkan bocoran-bocoran yang telah disesuaikan. Kepada jurnalis investigasi dengan bahasa formal, kepada blogger dengan gaya provokatif, kepada aktivis anti-korupsi dengan nada serius dan idealis. Setiap pesan berbeda, namun semuanya menunjuk ke arah yang sama. Ada sesuatu yang busuk antara Hakim Bagaskara dan Noire Advocates.Setelah dirasa cukup banyak, Raven memberi aba-aba. “Oke, cukup, bersihkan semuanya.”Leo dengan dingin mulai mengeksekusi protokol, wiping, log removal, route scrambler. Dalam beberapa menit, semua jejak hilang seolah pesan-pesan itu tidak pernah dikirim.“Kita sudah melempar umpan,” kata Raven pelan. “Sekarang… kita hanya perlu menunggu.”Dua puluh empat jam berlalu.Keheningan itu terasa menyesak