บททั้งหมดของ AMALIA, Kesetiaanku Diragukan: บทที่ 131 - บทที่ 140

"Kenapa kamu? Bukannya senang bisa liburan. Tuh, anak kamu udah kayak kelebihan dopamin," sebut Daffa. Ia dan Ghea memang sengaja mengantar keluarga kecil itu ke bandara. Satria memperhatikan Kanaya yang sebisa mungkin mengawasi Saka berlari-lari mencoba mengejar Ghea. Ruang tunggu prioritas memang tidak begitu ramai, tetapi tetap saja, anak itu perlu diawasi. "Mendadak stres aku. Saka bilang pengin adik. Lima lagi," keluh Satria. Daffa langsung tergelak. "Mampus!" "Sial, kayaknya Mama nih yang ngasih tahu Saka soal adik itu, ck!" decak Satria, sejujurnya kesal sekali. "Kanaya tahu enggak?" "Tahu, orang ngomongnya di depan kami berdua." "Terus, dia gimana?" "Ya, dianya diam aja. Katanya nanti pasti pelan-pelan bisa jelasin ke Saka." Satria menghela napas panjang. "Soal cerai ini aja, estimasinya baru bisa dijelasin setelah Saka usia 10 tahun. Itu artinya masih sekitar empat atau lima tahun lagi. Kalau selama rentang waktu itu dia minta adik terus, ya stres." Daffa tid

“Apa pendapatmu tentang punya anak lagi?” Pertanyaan itu membuat Kanaya hampir mendelik. Ia segera menggeleng. “Enggak, tentu saja tidak.” “Jelaskan padaku, kenapa tidak?” “Karena kita akan bercerai.” “Kamu benar-benar menginginkannya? Perceraian itu?” Kanaya sempat terkesiap. Ini pertama kalinya Satria menanyakan hal itu, bahkan setelah berminggu-minggu mereka menjalani tahap awal proses perceraian. Ada apa dengan suaminya. Ucapannya barusan tegas namun wajahnya seolah menunjukkan keraguan. Tapi, malam ini suaminya juga memperlakukannya cukup lembut. Kanaya jadi curiga. “Nay ....” “Iya,” jawab Kanaya cepat, memperjelasnya. “ Anggap saja, sekarang kita sama-sama menginginkannya, Mas.” Satria sekilas mengalihkan tatapan. Ia bukan pria yang akan menarik kembali keputusan atau ucapannya. Lagipula, untuk apa mempertanyakannya? Sudah jelas Kanaya tak akan berusaha bertahan. “Ya ... tentu saja.” Satria segera mengangguk untuk menunjukkan konsistensinya. “Mas Satria kepi

"Gimana kalau Saka enggak bisa punya adik?” "Kenapa enggak bisa?” “Susah bikinnya.” “Emang gimana bikinnya?” Sialan! batin Satria. Perkiraan Kanaya benar, raut wajah Saka kini terlihat sangat penasaran, menantikan jawaban. “Uh … tadi Papa bilang ‘kalau’, jadi ya belum tentu. Hahaha …” kilahnya cepat-cepat, jangan sampai Saka terus penasaran. Ia segera mengubah topik, “Emangnya Saka mau banget punya adik?” “Iya, lima!” Saka kemudian teralihkan, mengeluarkan tangan dari lubang jaket ayahnya dan menunjuk. “Mama .…” Satria menoleh, mendapati Kanaya tengah berfoto dengan beberapa perempuan yang sepertinya sebaya. Ia tidak suka situasi itu. “Panggil, Nak, yang kencang … Mamaaa!” Saka menuruti, “Mamaaaa!” Kanaya sampai hampir terperanjat, namun segera mengangguk sopan, meminta permakluman saat beralih mendekati suami dan anaknya. Satria memasang wajah muram setiap kali Kanaya bertemu orang yang mengenalnya di dunia maya. “Lihat, Mama bikin apa.” Kanaya memperbarui suasana

“Minggu depan. Kalian jawabnya jangan ngaco lagi, ya.” “Ngaco gimana? Kamu sendiri yang bilang harus jujur!” “Iya, tapi jangan jujur kelewatan. Kalian harus kelihatan berseberangan. Jangan sampai kayak kemarin. Masa orang mau cerai masih mesra gitu.” “Kami mesra?” “Ya mana ada pasangan mau cerai, tapi paginya masih ... ya, kamu tahu lah.” Satria tersenyum tipis. “Kanaya lebih suka pagi, sekalian mandi. Sebagai suami baik, aku nurut.” “Suami baik enggak ngomongin cerai, Bebal.” Satria terkekeh. “Tapi di bagian itu aku suami terbaik.” “Dasar mesum! Eh, agenda kamu ke Flores limpahin aja ke Alvin. Yang ke Samarinda biar Fran dan Mama Laras yang urus. Jadi kamu bisa fokus ke mediasi, dan Saka juga enggak langsung ditinggal lama.” “Mediasi besok kayak kemarin?” “Bisa lebih rumit. Kalian harus nyebutin kekurangan pasangan buat memperkuat gugatan. Supaya hak asuh jatuh ke Kanaya, dia juga harus bisa buktiin kamu lalai.” “Harus segitunya?” “Iya! Kamu baca enggak sih con

Hanya karena tidak memiliki pandangan yang sama, bukan berarti itu konyol. Bisa jadi mereka yang memilih begitu justru benar-benar merasakan cinta terbaik dari pasangannya.” Suara Kanaya terdengar tenang, meskipun ada nada penekanan dalam kalimatnya, seolah membela suatu kebenaran yang hanya ia dan segelintir orang pahami. Satria tidak menyahut segera. Mereka sedang dalam perjalanan kembali setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota. Saka, putra semata wayang mereka, tidur nyenyak di pangkuan Kanaya, menikmati guncangan pelan mobil mewah mereka. “Jadi kamu pilih pasangan dibanding anak?” tanya Satria. Suaranya mengandung sedikit ejekan yang sulit ia hilangkan, meski ia berusaha keras. Ini adalah topik sensitif bagi mereka. Kesetiaan Kanaya yang absolut pada dirinya, bahkan melebihi segalanya. Kanaya menoleh, tatapannya lekat tanpa sedikit pun keraguan. “Aku akan selalu pilih Saka. Tentu saja. Dia prioritasku." “Sudah jelas,” sahut Satria sambil mencibir pelan. Ia tidak tahu