บททั้งหมดของ AMALIA, Kesetiaanku Diragukan: บทที่ 111 - บทที่ 120

Beberapa hari kemudian...Wafa tidur begitu pulas malam itu. Ia merasa tempat tidurnya begitu nyaman sampai suara alarm jam beker di nakas nyaris ia abaikan. Perlahan, matanya terbuka, lalu ia berusaha duduk. Wafa menutup bibir yang menguap dengan telapak tangan, sementara tangan kirinya mengusap pinggang yang terasa sedikit pegal.“Sudah bangun?”Pertanyaan itu membuat Wafa kaget. Ia menoleh ke sisi kiri, dan pandangannya jatuh pada seorang pria yang sedang duduk di atas sajadah, melipat ujungnya dengan rapi. Seketika, Wafa sadar ia tidak berada di kamar Saka, putranya.“Pulas sekali tidurnya. Mas pindahkan ke kamar sampai enggak bergeming sama sekali. Padahal semalam Mas kangen banget, pengin ngunyel-ngunyel,” kekeh Kanzu seraya menyudahi lipatan sajadah. Matanya menatap Wafa penuh kehangatan.“Mas Kanzu kok sudah pulang? Bukannya kemarin pamitnya sepuluh hari? Ini belum ada sepekan,” ujar Wafa, matanya membelalak saat sang suami naik k

Ruang konsultasi mediasi di Pengadilan Agama itu berpendingin udara, tetapi Satria merasakan hawa panas menjalari tengkuknya. Bukan karena udara di sekitarnya, melainkan karena rentetan pertanyaan yang terasa seperti interogasi, yang baginya tidak menarik sama sekali untuk dijawab. Daffa, sahabatnya, duduk di sampingnya, mengenakan kemeja rapi yang kontras dengan aura Satria yang tampak gusar. Petugas mediasi, seorang pria paruh baya dengan kacamata berbingkai tipis yang terus melorot, menyandarkan pena di atas berkas tebal di hadapannya. “Sebelumnya bisa disampaikan dulu, Bapak, penyebab perceraian ini? Hal apa yang membuat Bapak mengajukan gugatan?” Petugas itu mencoba memperjelas maksud pertanyaannya. Nada suaranya profesional, namun ada gurat penasaran yang sulit disembunyikan. "Maksudnya secara spesifik?” balas Satria. “Ya! Ketidakcocokan yang disampaikan ini dalam hal apa? Sudah berapa lama merasakannya? Apakah ada tindakan KDRT juga dari istri Bapak?” Satria menggele

“Mas Satria, masih mau lanjut kerja atau istirahat?” tanya Kanaya setelah menutup pintu kamar Saka. Saat pengurus rumah membawa tas kerja Satria, beberapa map tebal turut dipindahkan ke ruang kerja.Satria memeriksa notifikasi di layar ponselnya, lalu menjawab, “Mau bicara sama kamu.”“Sekarang? Di sini?”Satria menggeleng, mengendik ke arah pintu ganda di seberang kamar anaknya. “Di kamar,” katanya, kemudian melangkah ke sana.Kanaya sempat terdiam sejenak, namun akhirnya mengikuti suaminya dan masuk ke kamar mereka. Satria beralih ke tas kerja yang diletakkan di kursi baca, mengambil komputer tablet, mengunduh beberapa file, lalu menunjukkannya pada sang istri yang duduk di pinggir tempat tidur.Kanaya memperhatikan file itu. “Itu apa?”“Berkas rekam medisnya Kakek. Walaupun mereka berhasil menyelamatkannya, tapi pembuluh darah yang pecah itu termasuk vital. Kemungkinan besar kondisi koma Kakek akan berlangsung lama, bahkan bisa selamanya.”Kanaya terkesiap. “Aku temani Kakek agak l

"Katanya istri yang posesif itu, artinya dia cinta sama suaminya, Ya ...." "Aku tipekal, orang yang secukupnya saja, Fa," jawab Satria mengakhiri obrolan mereka berdua. “Dua tahun ... yang mungkin bagi Kanaya sangat membuang waktunya, Fa,” ujar Satria setelah mengenang semua yang terjadi. “Iya lah! Tapi aku nanya terakhir kalinya, Ya ... kamu sama Kanaya beneran enggak ada hal yang bikin nyambung komunikasi selain urusan di tempat tidur?” Satria terkekeh. “Enggak selalu di tempat tidur juga, kadang di bathtub, ruang kerja, dulu pernah mau di mobil ... tapi, kena ketok Fran." “Kampret! Mesum banget, kamu, Ya! Maksudku bukan itu!” sela Daffa kesal. Satria tertawa. “Aku merasa formalitas aja status suami-istri ini. Selain soal tidur bareng, enggak ada hal yang bikin aku harus berduaan lama sama Kanaya. Urusan Saka ada pembagian waktu yang jelas, urusan rumah juga beres. She doesn’t even need me.” “Kamu sendiri ngerasa butuh Kanaya enggak?” “Ya, butuh. Aku bisanya nidurin

"Kamu tahu, Ya. Orang akan berpikir, kamu memilih mundur setelah mendapatkan sepertiga dari harta Pak Rahmat." "Aku enggak peduli, Ma! Terserah orang berpikir apa tentangku. Mereka lihat luarnya, enggak ikut merasakan kepalaku hampir pecah mengurusi bisnis dan harta keluarga Kanaya. "Semua ada perhitungannya, Ma. Bahkan, saat Kakek mengambil alih Indragiri. Menyerahkan perusahaan properti itu, padaku serta memintaku melanjutkan bisnis batubara." "Ada yang Mas Yaya sembunyikan? Enggak mungkin, kan ... enggak ada angin-hujan kalian naruh berkas di pengadilan agama." Ghea menatap penuh selidik. "Kanaya mikirnya, Mas dah capek sama dia. Pernikahan kalian baru dua tahun, Mas!" seru Ghea kesal. Satria menoleh. “Kamu tahu sendiri, sejak awal Kanaya enggak minta Mas menikahinya. Mas yang kekeh ingin bertanggungjawab, Ghea. Sikapnya belakangan ini, membuat Mas berpikir ... segala sesuatu yang dipaksakan akan jadi hal biasa. Dan, itu yang kita rasakan. Hambar yang ada, Ghe. Dahlah, kita pis