Semua Bab Pernikahan Kontrak Sang Pewaris: Bab 11 - Bab 20

Lea menelan ludah, mencoba menenangkan degup jantungnya yang mendadak kacau. Ia cepat menyelipkan ponsel ke dalam tas, seolah-olah tak terjadi apa-apa.“Tidak,” jawabnya singkat, berusaha terdengar ringan. “Hanya pesan kerjaan.”Jerry masih menatapnya dengan sorot penuh tanya, namun tak mendesak. Ia hanya mengangguk kecil lalu kembali melangkah, menyibukkan diri dengan pembicaraan tentang angle pemotretan.Selesai meninjau area hanggar, Pak Arman sudah berpamitan lebih dulu. Tinggal Lea dan Jerry yang berjalan berdampingan menuju area parkir.Jerry melirik arlojinya lalu menarik napas panjang. “Sepertinya kita sudah dapat gambaran cukup jelas untuk eksekusi.” Lea hanya mengangguk.Setibanya di kantor, keduanya sempat duduk sebentar di ruang meeting untuk menutup agenda hari itu. Beberapa catatan ditukar, jadwal diperiksa sekali lagi, lalu hening singkat menyelip di antara mereka.Mereka berjalan ke parkiran mobil, kemudian Jerry

Abi melangkah semakin dekat, jemarinya bergerak seolah hendak menyentuh pipi Lea. Tapi bukan hanya itu, bahunya condong, nafasnya kian panas di leher Lea, seakan ingin meraih kedekatan yang lebih dari sekadar sentuhan.“Bi…” suara Lea tercekat, tubuhnya menegang.Abi menunduk, bibirnya nyaris menyentuh, namun Lea tiba-tiba menoleh ke samping dan menahan dadanya dengan tangan.“Jangan,” ucapnya pelan tapi tegas.Abi terhenti. Tatapannya membeku, seperti tak percaya Lea berani menolak di saat seperti ini. Rahangnya mengeras, kedua matanya berkilat.“Kenapa?” tanyanya dengan suara rendah, nyaris bergumam tapi penuh tekanan.Lea menatap Abi tanpa goyah.“Bukan begini caranya. Aku tidak bisa, bukan sekarang waktunya.”Abi terdiam, matanya tetap terkunci pada Lea. Ada amarah di sana, tapi juga sesuatu yang nyaris rapuh, sesuatu yang berusaha ia sembunyikan di balik sorot tajamnya.“Lalu kapan?” suaranya renda

Akhirnya, Abi menghela nafas panjang. Ia meletakkan sendok perlahan, lalu menatap Lea lurus.“Ya, aku memang ke bar semalam.”Lea terperanjat, jantungnya terasa terhenti. Bibirnya bergetar saat kata-kata itu lolos. “Jadi, benar?”Abi cepat meraih tangannya, menggenggam erat seolah takut kehilangan kepercayaan itu selamanya. “Tapi bukan seperti yang kau bayangkan, Lea. Aku kesana karena undangan resmi. Itu sebuah private party tempat para produser, manajer artis, dan promotor musik berkumpul. Mereka mengundangku bukan hanya sebagai tamu, tapi juga karena mereka ingin aku tampil, menunjukkan musikku.”Mata Lea membesar, antara lega dan bingung.Abi menatapnya dalam-dalam, suaranya rendah namun penuh kesungguhan. “Di dunia seni, pertemuan seperti itu penting, Lea. Itu cara mereka membangun jaringan, mencari talenta, mengukur siapa yang pantas diberi kesempatan lebih besar. Aku tidak bisa menolak undangan semacam itu, bukan hanya untuk karirk

Tangan Lea masih tergenggam pada pegangan lift saat menoleh ke arah Sella. “Apa maksudmu, Sel?” suaranya terdengar tegas, tapi jantungnya berdetak kencang.Sella menatapnya serius, wajahnya tanpa senyum. “Bu Lea, menyampaikan hasil RUPS Morning Group menyatakan bahwa Anda resmi diberhentikan sebagai direktur. Selain itu, saham Anda akan dibeli oleh Daniel Andrianto, Ini suratnya Bu. Hari ini juga pelantikan Daniel Andrianto sebagai direktur yang baru.”Lea terdiam. Dunia seakan berhenti berputar sesaat. “Apa, apa yang kamu bilang?” suaranya tercekat, bibirnya nyaris tak bergerak. Tangannya meraih map dari tangan Sella.Sella menunduk sebentar, lalu menambahkan pelan. “Keputusan ini efektif mulai besok. Dokumen resminya sudah ditandatangani para pemegang saham. Saya datang untuk memastikan Ibu menerima informasi ini langsung dari saya, bukan dari kabar yang beredar.”Lea menggigit bibir bawahnya, matanya melebar. Rasa terkejut, marah, dan bingung b

“Apa maksudmu?” suara Lea tercekat, nyaris pecah. Tangannya refleks menggenggam erat tas di pangkuannya, seakan mencari pegangan. Matanya menatap Jerry penuh gugup dan curiga. “Darimana kamu bisa tahu semua itu, Jerry?”Jerry tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus ke jalan tol yang sepi, jarinya mengetuk setir pelan seolah menimbang kata. “Aku punya jalur informasi sendiri. Dunia bisnis lebih kecil dari yang kamu kira, Lea. Orang-orang membicarakan pergerakan saham, lobi-lobi belakang meja, bahkan siapa yang jadi bidak berikutnya. Nama Daniel Andrianto bukan sekadar gosip.”Lea menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. “Jadi, semua ini sudah direncanakan lama?”Jerry mengangguk tipis. “Dari yang kudengar, Daniel sudah menyiapkan langkah ini sejak berbulan-bulan lalu. Dia menunggu celah. Dan ketika waktunya tiba, RUPS kemarin menjadi pintu masuk.”Lea menggigit bibir, suaranya tercekat. “Tapi, bagaimana bisa dia merencanakan semua ini?”