Pembantu Pemuas Nafsu Sang Majikan のすべてのチャプター: チャプター 121 - チャプター 130

Begitu tiba di rumah Violeta, dia datang untuk kesekian kalinya dan tentunya untuk menegur wanita itu.Jason masuk tanpa memberi salam. Pintu kayu besar itu ia dorong keras hingga menimbulkan suara benturan yang bergema ke seluruh rumah.Violeta, yang sedang duduk membaca majalah di kursi empuk langsung menoleh. Alisnya naik sedikit, tapi ekspresinya masih terjaga.“Jason? Kau datang tanpa pemberitahuan lagi?” tanyanya dengan nada datar namun terselip nada heran.Jason berhenti di hadapan ibunya dengan tatapan yang begitu menusuk dan rahangnya menegang karena emosi.“Aku tidak perlu memberi tahu siapa pun untuk datang ke rumahku sendiri.”Violeta menutup majalahnya perlahan, lalu meletakkannya di meja marmer di depan. “Apa lagi kali ini? Kau masih ingin menjadikanku musuhmu, Jason?”Pertanyaan itu seharusnya terdengar lembut, tapi nada sinis di ujungnya membuat Jason semakin sulit menahan diri. Ia berdiri tegak dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.“Aku hanya ingin satu hal,

Jam digital di dinding sudah menunjuk pukul 01.07 dini hari, dan detik-detiknya terasa menyiksa bagi Ariana.Sejak pukul sembilan malam, ia mondar-mandir di kamar mewah itu—kamar yang terasa terlalu luas, terlalu sepi, tanpa kehadiran Jason di dalamnya.Langkahnya bolak-balik dari jendela ke tempat tidur, ke pintu, lalu kembali ke jendela lagi.Ponselnya sudah ia cek berkali-kali. Tidak ada balasan. Hanya centang biru di pesan terakhirnya.“Kau masih di kantor?”“Sudah larut, Jason … pulanglah.”Tidak ada jawaban. Ariana menggigit bibir bawahnya dan memeluk kedua lengannya sendiri sambil menatap tirai yang bergoyang pelan karena angin dari balkon.“Apa dia tidak akan pulang malam ini?” gumamnya lirih.Bayangan Jason kembali ke apartemen lamanya muncul di kepala. Dulu, setiap kali sedang banyak pikiran, Jason memilih menyendiri di sana.Tapi malam ini berbeda—ada sesuatu yang membuat Ariana merasa cemas, bukan sekadar gelisah karena rindu.Perasaan aneh itu tumbuh di dadanya seperti ba

Dalam perjalanan menuju sekolah, suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara mesin yang berputar lembut dan deru angin pagi yang menyusup lewat celah kaca.Jalanan kota mulai ramai, namun di dalam mobil hitam milik Jason itu, keheningan seolah punya ruang tersendiri.Ariana duduk di kursi belakang, memeluk tas kecil Ethan yang tadi ditinggalkan di pangkuannya. Matanya sesekali melirik ke luar jendela, memperhatikan pepohonan yang berderet dan lalu lintas yang perlahan bergerak.Namun pikirannya jauh — tertinggal di rumah, di antara tatapan Jason yang sulit ditebak dan kata-kata yang belum sempat ia ucapkan.Sesekali, ia melirik ke arah kursi depan, ke punggung Jemmy yang fokus menyetir. Pria itu mengenakan setelan hitam seperti biasanya, rapi, tenang, dan nyaris tanpa ekspresi.Namun entah kenapa, bagi Ariana, Jemmy adalah satu-satunya orang yang kadang terasa bisa diajak bicara tanpa rasa takut.Ia menghela napas pelan. Ingin bertanya — tentang Jason, tentang urusan yang membua

Senyum Ariana tak pernah pudar sejak mobil melaju meninggalkan gerbang rumah besar milik Jason.Jalanan pagi itu terlihat ramai, matahari yang hangat menembus kaca mobil dan menyentuh wajah lembutnya.Jemari Ariana memainkan ujung tas di pangkuannya, sesekali mengusap lututnya karena gugup dan antusias yang bercampur jadi satu.Sudah lima bulan ia tak bertemu ibunya. Lima bulan yang terasa seperti bertahun-tahun.Kini, aroma kampung halamannya, suara tawa adiknya, bahkan sentuhan lembut tangan sang ibu seolah sudah bisa ia rasakan di ujung perjalanan.Jemmy yang duduk di kursi kemudi, melirik lewat kaca spion. Melihat senyum Ariana yang tidak pernah surut sejak mereka berangkat, ia ikut tersenyum kecil.“Tampaknya kau bahagia sekali, Ariana,” ucap Jemmy akhirnya, memecah keheningan yang sebelumnya hanya diisi suara mesin dan musik lembut yang nyaris tak terdengar.Ariana menoleh, matanya berbinar. “Tentu saja, Jemmy.

Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam.Malam itu terasa begitu hangat di rumah kecil yang sederhana itu. Cahaya lampu minyak menggantung di atas meja makan, menebarkan sinar kekuningan yang lembut.Di atas meja, sudah tersaji hidangan sederhana buatan Melly yang selalu jadi kesukaan keluarga.Aroma masakan itu membuat perut siapa pun yang lapar langsung bergejolak, termasuk Jemmy yang dari tadi berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu menikmati aroma rumah yang begitu “hidup”.Ia duduk dengan sopan di kursi ujung meja, sementara Ariana duduk di samping ibunya, dan Adelia tepat di seberang mereka.“Silakan dimakan, Nak Jemmy. Jangan sungkan, ya. Kami memang tidak punya makanan mewah seperti di rumah besar itu,” ucap Melly dengan senyum hangat khas seorang ibu.Jemmy menggeleng cepat sambil tersenyum kecil. “Ah, tidak, Bu. Justru makanan seperti ini yang paling enak. Sudah lama saya tidak makan masakan r