All Chapters of TETANGGA WITH BENEFIT: Chapter 11 - Chapter 20

Aku sudah terbiasa sama gosip.Sumpah, aku tumbuh di lingkungan di mana gosip itu bukan sekadar siapa mengajak jalan siapa. Tapi gosipnya bisa sampai Papanya korup di perusahaan, Papanya tidur sama Mamanya orang, atau bisnis keluarganya hancur dan mereka bakal bangkrut. Kebanyakan gosip itu cuma omong kosong untuk menyakiti orang.“Bukannya itu alasan kamu balik ke sini? Buat bikin gosip makin ramai!”Aku langsung berdiri, enggak bisa lagi duduk bersebelahan sama dia. “Bikin gosip? Kalau kamu mau marah, marah aja sama Mamamu. Dia yang maksa aku balik ke sini terus ninggalin surat buat nyuruh aku dekat sama kamu. Kamu itu udah punya cukup banyak orang di kota ini yang belain kamu!”Karin ikut berdiri. “Dan emang seharusnya begitu. Aku asli sini. Aku dibesarin di sini!”“Ya udah, aku juga enggak pingin di sini. Tapi gedung ini bagian aku. Jadi kamu enggak bisa seenaknya ngatur apakah aku mau nerima tawaran itu atau enggak.” Aku ambil satu k

“Bukan itu maksud aku.”Dia geleng-geleng kepala, seperti sudah tahu trik aku. “Serius? Kamu selalu ngajak jalan cewek yang baru kamu kenal??? Karin ... jadi Aldani ini Casanova-nya Pecang, gitu?”Karin gigit bibir. Dia tahu kalau aku bukan tipe cowok seperti itu. Tapi kalau dia jawab jujur, itu malah bikin posisi aku makin buruk.“Enggak. Dia enggak pernah pacaran.”Sialan.“Eh, bukan enggak pernah!” kataku.Tapi Maya langsung angkat tangan. “Udah cukup. Aku ngerti. Kalian berusaha main belakang dan rebut gedung aku.”Aku kerutkan dahi. “Apa?”“Kamu salah paham,” sela Danny.Maya geleng-geleng sambil mengibaskan tangan. Dia tunjuk ke arahku sama Danny. “Dengar ya, aku tahu kalian berdua pingin gedung ini. Dan aku tahu Karin pengin jual. Tapi aku sendiri belum tahu apa yang aku mau. Jadi kasih aku waktu dulu.”Danny lompat turun dari meja. Nih, anak memang tipe yang enggak mau menerima kekalaha

Waktu aku sama Karin balik dari teluk, Aldani baru keluar dari kedai kopi, Mellow Mug.Karin sempat sentuh lenganku biar aku berhenti saat melirik Aldani. “Dia orang baik. Cuma … ada beberapa hal yang dia bawa dari masa kecilnya. Kamu tahu kan, kalau hal-hal di masa lalu itu yang bentuk kita jadi kayak sekarang ini.”Aku angkat tangan buat menghentikan dia."Tenang ... Aku udah cukup pusing sama urusanku sendiri, aku enggak butuh cowok ... Apalagi yang masalahnya lebih berantakan dari aku. Huuuuft!"Karin geleng-geleng kepala. "Kayaknya aku ngejualnya dengan cara salah.""Menurut pengalamanku, ya ... kalau kamu maksa seseorang buat jual sesuatu, berarti ada yang enggak beres."Dia mengangguk pelan."Benar juga, sih. Oh iya, aku harus ngasih tahu kamu sesuatu."Kita balik lagi ke toko, dan jujur saja, aku merasa down melihat barang berantakan begini."Apa?""Adani Sunya ... marga Sunya itu anggo

Aku jemput Connie sama Shaenette di Panti Jompo. Mereka punya apartemen masing-masing di sana, dan karena Shaenette sudah enggak bisa menyetir, nenek yang bawa Cadillac-nya.Shaenette ini sebenarnya, bos besar State Timber Corp, perusahaan kayu terbesar di negara ini. Keluarganya banyak banget, hampir seperti keluargaku, cuma bedanya mereka enggak campur aduk seperti keluarga Sunya."Baik banget kamu mau jemput kita, Aldani," kata Shaenette sambil naik ke bangku belakang mobilku.Nenek juga langsung menyusul, duduk di sebelah Shaenette, bikin aku otomatis jadi supir pribadi mereka. Kursi depan kosong."Uh, Nek?" tanyaku."Oh, teman kita nanti duduk di depan biar bisa lihat pemandangan. Aku udah tua, susah naik turun mobilmu. Kalau sering-sering, bisa-bisa pinggul aku patah, terus ada yang harus ngelap bokong aku. Kamu mau ngerjain itu, Aldani?"Aku langsung merinding. Mending enggak usah debat, aku gas saja mobilnya biar cepat se

Aldani mengantarkanku ke toko jahit tanpa banyak bicara. Sepanjang jalan ke Pecang, aku akhirnya sadar, membuka toko buku itu sepertinya cara paling tepat buat menghidupkan jiwaku lagi.Tapi aku butuh uang buat renovasi.Mama Papaku?Jangan harap. Papa mungkin tertawa dan Mama pasti bilang “jangan mimpi”. Mereka cuma mau aku balik ke Jakarta.Setelah mampir ke Cherry Chumber buat beli kantong sampah besar, aku mulai membereskan barang-barang yang enggak dipakai sama Karin.Aku bisa merasakan anxiety-ku mulai naik, jadi sudah saatnya menelepon rumah dan kasih tahu Mama Papa tentang rencanaku. Hal terakhir yang aku mau adalah Mama tiba-tiba datang ke Pecang. Jadi aku pencet nomor, taruh HP dan loss-speaker.Mama angkat telepon cepat banget, seperti biasanya. ”Maya, gimana kabarnya?""Baik.""Kapan kamu pulang? Mama baru aja ngobrol sama—”"Ma."Dia langsung diam. Dia tahu. Dia kenal aku lebih da