Todos os capítulos de Mencari Cinta Sejati: Capítulo 51 - Capítulo 60

Langit sore di Jakarta tampak lesu, seakan ikut menahan napas setelah hari panjang yang nyaris merenggut nyawa seseorang. Di balik kaca apartemen mewah itu, Ambar duduk bersandar di sofa dengan perban putih di lengannya. Aroma antiseptik bercampur lembut dengan wangi teh chamomile yang baru diseduh Vero. Hening terasa seperti teman yang menakutkan sekaligus menenangkan. Vero berdiri tak jauh dari sana, menatap Ambar yang tampak lebih pucat dari biasanya. Ada sisa kecemasan di wajahnya—campuran antara marah, takut, dan rasa sayang yang terlalu besar untuk disembunyikan. “Harusnya aku nggak datang ke lokasi syuting hari ini,” gumam Ambar lirih, memandangi ujung jarinya yang bergetar halus. Vero menghela napas, matanya tetap menatap lurus padanya. “Kalau kamu nggak datang, kamu tetap akan diserang oleh dunia yang sama, Ambar. Dunia yang nggak peduli kamu manusia atau bukan.” Ambar tertawa pendek, getir. “Tapi kamu marah. Kamu nyuruh aku berhenti. Itu artinya kamu juga nggak peduli,

Pagi itu Jakarta kembali ramai. Berita tentang Ambar, artis ternama yang terluka saat syuting, masih menjadi topik utama. Namun kali ini, sorotan publik beralih ke satu nama yang disebut beberapa saksi: Vero, dosen muda dari Universitas Indonesia, yang dikabarkan membawanya pergi dari lokasi kejadian. Judul berita bertebaran: “Siapa Vero, Dosen UI yang Dekat dengan Ambar?” “Benalu atau Pelindung? Dunia Hiburan Pertanyakan Sosok Misterius di Samping Ambar.” Vero duduk di ruang tamu apartemennya, memandangi layar ponsel yang penuh notifikasi. Ia tampak tenang, tapi sorot matanya tajam. Di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang ia tahan. Sementara itu, Ambar masih beristirahat di kamar sebelah. Ia mendengar berita itu dari televisi yang menyala pelan. Kata benalu menusuk hatinya. Ia menggenggam selimut, lalu menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. “Benalu, ya…” bisiknya lirih. “Padahal mereka tidak tahu apa-apa tentangmu, Ver.” Ia menutup matanya sejenak, lalu m

Malam itu, suara letusan pistol masih menggema di telinga Ambar dan Vero saat mereka berpegangan tangan erat di lorong gelap kafe. Kepanikan dan kekacauan mengisi ruangan, namun naluri bertahan hidup mendorong mereka untuk segera mencari jalan keluar.Vero mengisyaratkan pada Ambar untuk mengikuti, dan mereka berdua menyelinap menuju pintu belakang kafe yang samar tertutup. Hujan yang masih deras di luar menjadi sekutu terbaik mereka, menutupi langkah kaki yang tergesa-gesa.Namun, tepat ketika mereka hampir keluar, sebuah sosok bertopeng menghadang di tengah lorong sempit tersebut. Bayangan hitam itu berdiri tegap, menyibakkan udara dingin yang menusuk hingga tulang.“Siapa kalian? Lepaskan kami atau kami akan melawan!” suara Vero terdengar tegas tetapi ada ketegangan yang samar dalam nadanya.Sosok bertopeng itu tertawa dingin dan mengejek, “Kalian tidak tahu siapa yang bermain-main di sini. Gion tidak suka gangguan.”Ambar merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tapi tekadnya

Pagi di apartemen aman itu terasa ganjil. Hujan semalam sudah berhenti, tapi udara masih lembap dan berat, seolah kota ini belum benar-benar tenang. Vero berdiri di depan jendela dengan laptop terbuka, mata fokus menatap deretan data di layar. Matanya merah karena tak tidur semalam. Ambar duduk di sofa, menggenggam secangkir teh yang sudah dingin. Ia memperhatikan Vero diam-diam. Setiap gerakan Vero penuh tekanan—klik cepat di keyboard, helaan napas panjang, lalu pandangan tajam yang menembus layar. “Sejak tadi kamu belum makan,” kata Ambar pelan. Vero tidak menoleh. “Aku belum bisa tenang sebelum tahu siapa pengirim pesan itu.” “Vero…” Ambar berdiri, mendekat. “Kau tidak harus memaksa dirimu.” “Justru karena aku harus melindungimu, Ambar.” Nada Vero lebih dalam kali ini. Ia menatapnya sebentar. “Pesan itu tidak datang dari orang acak. Mereka tahu lokasi kita. Itu berarti seseorang dari jaringan Gion masih bebas.” Kata-kata itu membuat dada Ambar terasa sesak. Ia menunduk, meng

Senja merayap perlahan, meninggalkan warna jingga lembut di balik jendela apartemen yang jadi saksi bisu pergulatan batin dua sahabat itu. Angin sepoi-sepoi mengusik tirai tipis, membawa aroma sisa hujan yang masih membasahi jalanan. Meski demikian, suasana hati Ambar tak bisa setenang pemandangan luar yang mulai gelap. Ia duduk di balkon, jemarinya menari tanpa sadar pada gelang kecil pemberian Vero, tanda kecil kehangatan di tengah kegelisahan yang menyesak.Vero duduk di sampingnya, diam, menatap wajah yang dipenuhi keraguan. Ada sesuatu dalam diri Ambar yang berat tak terucapkan, sesuatu yang melawan dari dalam. Vero tahu, malam itu bukan hanya tentang ancaman dari dunia digital yang sudah mereka hadapi, tapi sesuatu yang lebih dalam—yang menyesakkan dan membuat Ambar merasa terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ketakutan.“Kamu merasa nggak sih,” Ambar memecah keheningan dengan suara lirih, “kayak aku ini sengaja dihalangi untuk punya pasangan? Seolah ada tangan tak terl