Jeritan Uma mengejutkan senja di Subang sore itu. Tubuh mungil Adek terkapar di jalan. Darah mengalir deras dari pelipisnya, membentuk kumpulan merah di bawah kepalanya, bercampur debu dan pecahan kaca dari truk yang baru saja berhenti mendadak. Uma berlari, menubruk tanah, mendekap tubuh anaknya yang masih hangat, wajahnya berlumur darah dan air mata.“Adek…bangun, Nak… Ibu di sini, Adek…bangun, sayang…” suaranya pecah, bergetar antara histeris dan tak percaya. Genta mencoba menarik Uma dari tubuh Adek, tapi ia mengamuk, menjerit, menolak dipisahkan. "Jangan sentuh dia! Ini anakku! Anakku!"Vivi yang tadi berteriak panik kini mundur beberapa langkah, pucat pasi. Tangannya gemetar, darah Adek menodai ujung bajunya. Ketakutan bercampur rasa menyebabkan langkahnya limbung. Uma menoleh ke arah Vivi, mata merahnya menyalakan api kebencian yang tak lagi bisa dikendalikan."Setelah menyiksanya, kamu membunuhnya..." suaranya serak, matanya membara oleh balas dendam dan air mata.Tanpa pikir
Terakhir Diperbarui : 2025-10-06 Baca selengkapnya