Semua Bab Seumur Hidup Terlalu Lama: Bab 51 - Bab 60

Mereka pun masuk. Bagian dalam paviliun ditata dengan perabot antik yang artistik. Lalu Dia mengajak Uma ke satu ruangan khusus.Uma langsung ternganga. Ruangan itu mirip butik kecil—dengan gulungan kain berwarna-warni, dua mesin jahit termasuk obras, dan berbagai aksesori menjahit.“Ini ruang kerja saya yang sekarang menjadi ruang kerja kita bersama,” terang Dia. “Saya biasanya menjahit gaun-gaun hamil sendiri di sini. Nah, karena saya tahu kamu suka mendesain, kamu bisa memakai ruangan ini juga. Kita bisa membuka sistem PO kecil-kecilan. Kalau kamu mau serius, nanti saya kenalkan ke beberapa teman yang punya usaha jahit seragam kantor dan sekolah. Jadi kamu bisa tetap sibuk sekaligus berpenghasilan.”Uma menatap Dia haru. “Saya tidak tahu amal baik apa yang saya lakukan, sampai Allah pertemukan saya dengan orang sebaik Mbak…”Dia tersenyum lembut. “Mungkin ini jalan dari Allah, Uma. Jalan kita dipertemukan untuk saling menguatkan. Oh ya, saya juga sudah mengirim beberapa contoh gaun

Alis Dia langsung berkerut. “Bayu? Tidak mungkin. Kamu pasti salah lihat. Bayu masih di Jakarta, Uma. Saya tahu persis keberadaannya.”Uma terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Haruskah ia menceritakan peristiwa di terminal juga? Namun akhirnya ia memberanikan diri.“Mbak, ini bukan yang pertama kali. Sewaktu baru datang ke Cisarua, saya juga sempat melihat Mas Bayu di terminal. Dia… bersama seorang gadis muda. Mereka terlihat sangat dekat.”Kata-kata itu membuat dada Uma sesak. Ia buru-buru menunduk, tak ingin melihat reaksi Dia.Hening sejenak. Setelah beberapa saat, Dia baru bersuara, “Dia bukan Bayu, Ma.”Uma mendongak kaget. “Tapi wajahnya… persis Bayu, Mbak. Saya tidak mungkin salah lihat.”Dia berdiri perlahan, lalu meraih ponselnya dari meja kecil di samping kursi. Ia membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto.“Nih, lihat. Foto ini dikirim Oma Wardah kira-kira setengah jam lalu. Bayu masih di Jakarta. Dia sedang mencari saya di Panti Asuhan Cinta Kasih.”Uma menatap layar pon

Tanpa pikir panjang, Uma menutup buku desainnya. “Astagfirullah… ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang.”Ia buru-buru mengganti pakaian, lalu bersama Bik Ningrum dan Pak Ahmad—sopir pabrik—membantu menuntun Pak Suhardi keluar rumah. Tubuh pria paruh baya itu goyah, dadanya naik turun tak teratur.Di dalam mobil, Uma duduk di samping Pak Suhardi. “Pak, tahan sebentar, ya. Kita sebentar lagi sampai rumah sakit.”Pak Suhardi terbatuk keras hingga wajahnya memerah. “Dada saya… sakit sekali, Nak…”Uma menoleh pada Pak Ahmad. “Pak Ahmad, tolong lebih cepat! Kalau bisa ngebut, ngebut saja!”“Siap, Bu!” Pak Ahmad menginjak pedal gas, membawa mereka menembus jalanan padat.Uma meraih ponselnya. Ia ingin menelepon Dia, tapi segera mengurungkan niat. Ia tahu Dia sedang mengajar. Akhirnya ia hanya menulis pesan singkat:Mbak, Pak Suhardi kurang sehat. Saya dan Bik Ningrum membawanya ke Rumah Sakit Paru Goenawan. Mbak tenang saja. Kami bisa meng-handle semuanya.Saat itu juga ponsel Uma berdering.

Suara Bu Ermi melembut.“Saya tahu kamu tersinggung. Saya minta maaf ya, Uma. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan semua itu padamu. Saya terpaksa… demi menjaga hubungan Genta dan ayahnya supaya tidak makin buruk.”Uma hanya diam. Ia takut salah bicara, maka ia memilih mendengarkan.“Uma,” suara Bu Ermi terdengar memohon, “kalau nanti Genta meneleponmu, tolong… nasehati dia agar mau menelepon saya. Bagaimanapun… kami adalah keluarganya.”Uma menarik napas, lalu menjawab datar,“Baik, Bu. Kalau itu terjadi, saya akan sampaikan.”Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan,“Saya juga ingin memohon pada Ibu… jangan lagi mencari-cari saya perihal Mas Genta. Saya merasa terganggu.”Hening.“Kalau tidak ada hal lain yang ingin Ibu bicarakan, saya pamit. Saya masih banyak pekerjaan.”Masih hening. Mungkin Bu Ermi tidak menyangka ia menanggapinya sedingin itu. Setelah keheningan sesaat, akhirnya Bu Ermi berdeham pelan.“Ya sudah… terima kasih, Uma. Maaf sudah mengganggu waktumu. Selamat ma

"Baguslah. Suamimu itu memang tidak ada gunanya. Tidak bisa membela dan melindungimu," dengkus Bayu muak. Ia teringat pada sosok tinggi besar namun tidak mampu melindungi istrinya. "Iya, Mas. Kami kaum perempuan memang selalu ingin dilindungi dan diperjuangkan. Karena baik saja, tidak cukup." Uma memberi masukan pada Bayu saat melihat Dia kembali ke ruang tamu. Uma pun bersiap kembali ke dapur. Ia tidak mau menganggu privasi keduanya. "Kamu di sini saja, Uma." Dia menahan Uma dengan tatapan tajam. Uma pun kembali duduk di sofa. Agar suasana tidak terlalu canggung, Uma menghidupkan televisi."Kamu kapan dijadwalkan melahirkan, Dia?" Walau matanya tertuju ke televisi, telinga Uma mendengar jelas percakapan keduanya."Menurut dokter, sekitar dua bulanan lagi.""Saya... boleh tidak menemanimu saat persalinan nanti?" "Saya rasa tidak perlu," sahut Dia singkat. Bayu tampak tertunduk lesu. Uma yang kasihan, memutar otak. Memikirkan bagaimana caranya agar Bayu bisa menemani Dia melahirkan.