Keesokan paginya, aku memakai riasan tipis.Aku tidak ingin penampilanku terlihat menyedihkan sekalipun di saat-saat terakhirku.Hanya saja, meski aku terus menunggu di Kantor Sipil, Riyan tidak kunjung datang.Aku juga meneleponnya, tetapi dia tidak menjawab.Aku langsung menelepon Monika. "Riyan ada di sana, 'kan? Suruh dia datang urus cerai!"Suara jengkel Riyan terdengar. "Sofia, jangan nggak tahu diri! Kalau sempat aku tanda tangan surat cerai itu, kamu bakal nyesal!"Suaraku terdengar tenang. "Apanya yang perlu disesalkan? Kalau kamu nggak berani datang, berarti kamu pengecut!"Mana mungkin Riyan rela kehilangan harga diri seperti itu? Dia terpaksa datang juga.Prosedur cerai berjalan lancar. Melihat akta cerai itu, hatiku merasa lega.Aku nggak ingin nama Riyan ada di batu nisanku setelah aku meninggal. Sekalipun sudah meninggal, hal itu tetap terasa menjijikkan.Wajahku refleks tersenyum. Sebaliknya, ekspresi Riyan sangat muram. "Sofia, kamu hebat sekarang! Di saat cerai, kamu
Read more