All Chapters of Setelah Putus, Aku Jadi Kakak Iparnya!: Chapter 11 - Chapter 20

“Bukan. Leon bukan kekurangan pasangan. Dia hanya sedang perang dengan ibu tirinya... ”Tadi saat menangis di pelukan Zara, Melina sempat menceritakan semua yang terjadi hari ini, termasuk ocehan manajer hotel.Namun, Leon jelas bukan lelaki yang kekurangan perempuan. Dia hanya belum menemukan gadis yang benar-benar dia sukai untuk dinikahi, sekaligus jadi tameng dari intrik ibu tirinya.Seperti kata sang manajer, andai Leon sudah beristri, setidaknya si ibu tiri yang munafik itu tak bisa lagi memegang kendali urusan pernikahan Leon dan menyusupkan perempuan ke sisinya.Namun di telinga Zara, semua itu sama saja artinya.“Kalau Leon nggak ada pasangan, artinya dia kekurangan pasangan! Dia baru saja menolongmu, bahkan berjanji siap bantu sesuatu yang lebih besar lagi untuk melunasi budi. Aku nggak salah tangkap, ‘kan?”“Memang... nggak salah... ”Melina kewalahan oleh logika kilat Zara, firasat buruk mulai merayap. “Tunggu sebentar, Zara! Jangan bilang kamu mau... ”“Benar! Itu yang aku

Angin tiba-tiba menggeram, cahaya matahari yang berkilau tertutup awan hitam seolah badai hendak pecah.Melina nginap di suite hotel. Dia tidur sampai perutnya benar-benar protes barulah bangun pelan-pelan.Semalam, Zara nyaris tak membiarkannya memejamkan mata. Suara ocehan bahkan masih berdenging di telinganya.“Mel, aku serius. Leon adalah kartu bagus yang bisa membantumu bangkit menuju puncak.”“Kevin yang dapat pernikahan bisnis dengan putri Keluarga Hoston saja sudah begitu sombong? Ya sudah, kamu gandeng CEO Keluarga Hoston saja! Biar dia tahu kamu bukan miliknya dan tak akan selamanya terkendali dalam genggamannya!”“Terus terang, meski aku dan Jordan ribut melulu, aku tetap harus kasih nilai seratus untuk Leon. Jordan bisa jadi sahabatnya mungkin itu rezeki yang ditabung tujuh turunan!”“Kalau kamu jadi Nyonya Muda Hoston, Tante Melati pun pasti bakal kepanasan. Dia akan langsung seperti kebakaran jenggot, terus mengejar dan menempel padamu!”“Sebagai sahabat, tentu aku nggak

Leon sepertinya tidak setuju dengan usulan menikah dengannya.Begitu Melina membaca sorot mata Leon, pikiran itu melintas sendiri.'Wajar,' pikirnya. Dadakan meminta orang untuk menikah memang agak berlebihan, walau hanya menikah kontrak. Usulan ini memang sudah pasti gagal.Dia pura-pura santai. “Pak Leon, aku paham sekali kalau kamu tak berkenan. Statusku memang tak sepadan denganmu... ”“Aku bukan Kevin Boslin. Aku nggak punya hirarki konyol seperti itu.”Leon memotong, suaranya datar tapi tegas, “Aku sudah menjanjikan budi, artinya aku mengakui dan menghormatimu. Aku tidak merasa kamu tidak sepadan denganku.”Tidak merasa tak sepadan...Ucapan itu keluar dari lelaki nomor satu di Kota Livia, menghantam dada Melina yang bertahun-tahun ditolak dan diintimidasi. Dia menahan asam di tenggorokan. “Kalau begitu... bolehkah menukar hutang budi dengan pernikahan kontrak?”“Tidak boleh.”“Eh?”Lancar sekali menolak. Melina melongo, rasa asamnya hilang seketika.Barusan ketika Leon mengucap

“Kamu!”Melati menikah tanpa kuasa dan tanpa sandaran. Bertahun-tahun ini, dia berusaha menegakkan diri sebagai Nyonya Boslin. Hal yang paling takut diungkitnya adalah para ART senior di rumah Keluarga Boslin kerap tak menggubris perintahnya dan sengaja meremehkannya.Tak disangka, Melina malah membongkarnya dengan lantang.Melati kontan bangkit dari sofa. Rasa pusing yang sempat dia rasakan beberapa hari lalu saat ditusuk kata-kata Melina kembali menghantam.“Tante, kesehatan Anda kurang baik. Biar saya saja. Tante istirahat di kamar dulu.” Langkah terdengar dari tangga.Kevin menuruni anak tangga dalam setelan rumahan, rapi dan dingin. Jelas dia sudah menyaksikan adegan barusan.Putra tiri muncul sebagai sandaran. Melati sadar dirinya takkan mampu meladeni putri yang tampak manis, tapi penuh duri ini. Dia pun melotot sekejap ke arah Melina, lalu memegangi pelipis dan tergesa kembali ke kamar.Ruang tamu kini menyisakan dua orang, yaitu Kevin dan Melina.Kevin menenangkan ekspresi, su

Kevin pun meletakkan gelas, jemarinya cepat mencari nomor. Dia berniat menyelidiki apa yang direncanakan Celine agar bisa menghentikannya.Tepat saat itu, langkah kaki terdengar. Robert pulang.Melihat putranya, dia maju dua langkah. Wajah tegasnya sulit terbaca. “Kamu nggak enak badan? Raut wajahmu kurang bagus.”“Nggak. Hari ini sibuk, belum sempat makan. Minum obat saja cukup.” Kevin tetap lembut.Robert mengangguk singkat, menepuk bahunya.“Akhir-akhir ini kerjamu banyak, jaga kesehatan. Selain kesehatan, kamu harus jaga Celine juga. Anak itu cukup tertekan belakangan ini, sampai-sampai meneleponku.”“Urusan antara dia dan Melina harus segera beres. Kalau Celine selaku calon tunanganmu terpengaruh di Grup Hoston, Grup Boslin akan ikut kena imbas juga.”“Omong-omong, Melina juga anak yang tumbuh besar di rumah kita. Waktu kecil dia kurang betah di rumah, kamu yang sering menolongnya. Sekarang menekan dia agar mengalah pastinya juga bukan hal yang susah buatmu, ‘kan?”Kevin tersenyum