Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi
Terakhir Diperbarui : 2025-10-05 Baca selengkapnya