Semua Bab Terjerat Hasrat Liar Mantan Selingkuhan: Bab 181 - Bab 190

Di sudut ruangan VVIP yang sunyi, di mana tirai jendela menjuntai lembut, Hastan duduk di sofa sambil menemani Dio bermain dengan tablet Hastan. Setelah memastikan Meira dan Ibunya, Laras, tenggelam dalam percakapan serius mereka, Hastan mematikan suara tablet itu dan menoleh ke Dio. Hastan tersenyum lembut, mengacak pelan rambut cokelat Dio. "Dio," panggilnya pelan. Dio, anak laki-laki berusia empat tahun dengan mata cerah dan cerdas, segera mendongak. "Ya, Om?" "Om mau tanya serius," ucap Hastan, menurunkan suaranya sedikit. Ia membiarkan Dio duduk di pangkuannya, sebuah kebiasaan yang semakin sering terjadi belakangan ini. "Dio... apakah Dio menyayangi Om Hastan?" tanya Hastan, meskipun ia sudah tahu jawabannya, ia butuh mendengarnya. Dio mengerutkan dahinya, seolah pertanyaan itu konyol. "Tentu saja Dio sangat sayang Om Hastan!" seru Dio, memeluk leher Hastan erat-erat. "Dio juga senang lihat Mamah bahagia dan disayang Om. Mamah tidak pernah senyum banyak seperti sekaran

Keesokan harinya, Singapura disibukkan oleh kedatangan keluarga inti Maheswara. Orang tua Hastan, Ayah dan Ibu Maheswara, serta Nayla, adik Hastan, tiba di Singapura menggunakan jet pribadi yang berbeda. Hastan telah memastikan mereka menyewa penthouse di gedung sebelah penthouse yang ia sewa, agar tetap dekat namun memiliki privasi yang terjamin. Sore itu, Hastan, Meira, dan Dio pun mengunjungi mereka. Suasana ruangan besar di penthouse itu terasa hangat namun sedikit canggung. Dio langsung disambut gembira oleh Kakek dan Neneknya, serta Tante Nayla yang tak kalah heboh. Setelah Dio asyik bermain dengan Nayla di sudut ruangan, Ayah Maheswara berdeham. "Hastan," panggil Ayah Maheswara, tersenyum geli. "Ayah dan Ibu tidak terkejut kamu memutuskan menikah, tapi kami sedikit gemetar dengan kecepatanmu. Minggu depan? Di negara orang?" Ibu Maheswara, wanita bijaksana dengan aura lembut, menimpali, "Pernikahan adalah momen sakral, Nak. Bukan seperti tender perusahaan yang harus dise

Napas Hastan dan Meira perlahan mereda. Meira bersandar di dada Hastan di sofa, sementara sisa-sisa gairah masih terasa kuat di udara ruangan VVIP itu. Gaun pengantin yang seharusnya sakral kini sudah kusut, sedikit tertarik, dan jelas tidak layak pakai untuk keluar butik. Meira tersenyum geli. Pernikahannya sudah dimulai dengan cara yang paling Hastan banget. Meira bangkit, meninggalkan Hastan di sofa. Gaun pengantin yang sekarang sudah kusut itu pun Meira lepas dengan bantuan Hastan, memperlihatkan tubuhnya yang masih dihiasi tanda-tanda merah kepemilikan Hastan. Meira bergegas ke ruang ganti. Ia mengganti bajunya dengan baju yang tadi ia pakai sebelum datang ke butik. Untung saja Meira selalu membawa g-string cadangan di tasnya, sebuah kebiasaan yang ia pelajari dari kebiasaan Hastan yang suka merobek g-string-nya setiap kali bercinta. Romansa gelap Hastan memang menuntut persiapan ekstra. Di luar ruang ganti, Hastan merapikan pakaiannya sendiri. Setelah memastikan Meira aman

Tanpa menunda, segera setelah resepsi pernikahan intimate mereka selesai, Hastan membawa Meira pergi. Dio diurus sementara waktu oleh Nayla dan Ibu Maheswara, yang langsung senang mendapat tugas mengurus cucu. Hastan membawa Meira berbulan madu ke Kepulauan Maladewa (Maldives), tetapi bukan ke resor umum. Mereka diantar dengan seaplane khusus menuju sebuah pulau pribadi eksklusif yang Hastan sewa sepenuhnya. Pulau itu hanya berisi satu vila mewah dengan pantai pribadi, kolam renang tak bertepi, dan pemandangan laut biru kehijauan yang menakjubkan. Setibanya di sana, gairah mereka tak terbendung, dan mereka menghabiskan waktu berjam-jam di dalam vila, mengukir klaim dan cinta mereka di setiap sudut kamar. Malam harinya, setelah makan malam mewah yang disajikan di pantai, Meira dan Hastan berbaring di tempat tidur gantung besar di tepi pantai. Suara deburan ombak yang lembut menjadi musik latar, sementara jutaan bintang berkelip di atas mereka. Suasana terasa sangat intim dan dama

Setelah insiden muntah dan tangisan histeris di mansion keluarga Maheswara, Hastan segera membawa Meira dan Dio kembali ke rumah mereka. Hastan menelepon dokter pribadinya yang seorang wanita spesialis kandungan, meminta untuk datang secepatnya. Dio disuruh bermain di ruang keluarga di bawah pengawasan perawat sementara Meira beristirahat di kamarnya, tubuhnya terasa lemas. Tidak lama kemudian, dokter wanita, Dr. Tania, tiba di mansion. Hastan menyambut kedatangan dokter wanita tersebut di pintu, menjelaskan situasinya dengan cepat dan cemas. "Dia sangat sensitif, Dok. Menangis hanya karena cheesecake, dan muntah karena aroma cokelat. Dan, ya, dia sempat menggunakan pil KB," jelas Hastan, tatapannya penuh harapan dan teka-teki. Saat tiba di kamar, Dr. Tania, seorang wanita paruh baya yang tenang, mulai bekerja. Dokter seperti biasa memeriksa tekanan darah Meira, dan detak jantung serta mengajukan pertanyaan mendasar. "Meira, ceritakan apa yang paling mengganggu Anda," tanya Dr