Di pagi hari yang seharusnya tenang, langkah Biya tergesa-gesa menuju dapur untuk membuat bubur dan mengisi baskom. Abangnya yang semalam mabuk, kini terbaring lemah karena demam.Tubuh lelaki itu lemas, napasnya berat, keringat dingin membasahi wajah. Sesekali bergumam tak jelas dengan matanya setengah terpejam. Biya menatap dengan nafas lelah, namun tangannya tetap sigap mengelap peluh di wajah dan leher kakaknya.“Bang, kalau sakit kayak gini, jangan di lawan sendiri,” ucap Biya pelan, sambil menatap wajah kakaknya yang pucat. Kata-kata itu bukan hanya untuk demam yang sedang membakar tubuh Arsen, tapi juga untuk hati yang sudah lama remuk, rapuh, dan ia tahu—terus disembunyikan.`Arsen membuka matanya, menoleh lemah ke arah adiknya. Bibirnya bergerak, suaranya hampir tenggelam.“Bi,” panggil Arsen dengan pelan, jemarinya mencoba meraih jemari adiknya. Satu-satunya adik perempuan yang menjadi alasannya tetap bertahan, meski sering ia tinggalkan. Sentuhan itu goyah, tapi hangat, seo
Last Updated : 2025-08-29 Read more