All Chapters of Tunangan Kontrak Sang CEO: Chapter 111 - Chapter 120

Pagi itu, ruangan penyidik kembali penuh. Mikrofon dinyalakan, penomoran bukti diulang, dan kursi yang kemarin dipakai Kenan masih menyisakan bekas lipatan. Ia duduk tegak, tangan disatukan di atas meja, kali ini berbicara tidak lagi terbata. “Saya jelaskan urutannya,” katanya. “Mulai dari alat.” Pertama, bengkel 3D milik Bagas. Di sana ia memesan mold silikon untuk meniru sidik jari—bukan sekali jadi; versi ketiga baru pas. Selain itu, ia memesan jig penjepit kartu (yang Bagas sebut prox clamp) agar saat kartu tamu didekatkan ke pembaca, antena tidak gores dan data tidak korup. “Nano‑case juga,” lanjut Kenan. “Cangkang komputer mini untuk ditaruh di area sempit. Dipasangkan booster kecil supaya sinyal kuat.” Pada layar, penyidik menampilkan foto kotak hitam seukuran sabun batangan: antena tipis, port micro‑USB, dan pita perekat di belakang—wujud perangkat yang kemarin ditemukan di plafon ruang arsip. Kedua, badge klon. “Kami tidak membuat kartu dari no

Gedung setengah gelap; war room dikunci dari lalu‑lalang. Tidak ada dewan, tidak ada investor; hanya dua orang dan peta dinding yang penuh panah. Arga berdiri beberapa langkah dari Naya. “Jangkar tetap menunggu komitmen personal dalam 72 jam,” katanya datar. “Paket tata kelola kita kuat, tapi mereka menuntut simbol yang mengunci narasi.”Naya menatap kotak MDM → VPN → HPC → relay, serta garis Seraphine → Kenan dan penanda A.C.. “Simbol tanpa dokumen hanyalah umpan empati,” jawabnya. “Hari ini dielu‑elukan, besok dipelintir.” Ia menginginkan keputusan besar tunduk pada struktur, bukan pada sorak‑sorai.Arga menarik napas. “Aku ingin menikah denganmu,” ucapnya akhirnya. “Bukan kontrak citra, bukan jalan pintas untuk menutup gosip. Aku ingin karena kau—integritasmu memaksaku mengubah cara memimpin; keberanianmu berkata tidak waktu aku meminta yang mudah tapi salah. Dan ya, ini juga menutup ruang pemerasan status. Kau dapat hak hukum—bukan hak memutus, tapi hak berdiri

Rapat dewan dimulai dengan ritual yang membosankan tapi menyelamatkan: disclosure konflik, daftar pihak yang recuse, dan tata cara roll‑call. Legal memaparkan paket untuk terakhir kali: akta transparansi relasi, recusal map—lengkap dengan template notula “CEO keluar ruangan pukul xx:xx”—, escrow keputusan dua kunci, dan mandat pengawas independen dengan hak menghentikan agenda. Investor relations menambahkan kabar dari jangkar: dukungan dipertahankan bila dalam Giliran Luki—diwakili pengacaranya—membacakan keberatan. Kata abuse of power dan frasa “pernikahan sirkus” dilontarkan dengan nada datar yang dirancang untuk mengail judul. Narasi mereka: paket kepatuhan hanyalah make‑up. Saat ia duduk, ruangan hening; semua mata beralih ke Arga.Arga berdiri, merapikan kertas tanpa dramatis. “Paket ini pagar, bukan pentas,” katanya. “Ia membuat aku lebih sedikit bisa memutuskan. Jika recusal berkata aku harus keluar, aku kelua

Berita pukul tujuh datang seperti hujan yang sudah diprediksi radar. Paket khusus menayangkan kilas balik: b-roll lobby Mahendra, potongan rapat dewan, cuplikan balkon lama, lalu foto-foto di depan gedung catatan sipil siang tadi. Narator televisi menyusunnya dengan nada dramatis yang tak bisa dihindari. Di kolom komentar, publik membelah diri seperti gelombang yang membentur tanjung. Setengah menuduh: “Kawin kilat untuk alihkan isu.” Setengah lagi membela: “Setidaknya mereka memilih jalur legal dan transparan.” Ada juga yang sinis: “Akan kita lihat tiga bulan lagi.” Perbedaan itu wajar, pikir Naya. Opini bekerja dengan bahan bakar emosi; sementara yang mereka dorong adalah mesin yang berjalan dengan bahan bakar data.Di sisi lain layar, grafik harga saham bergerak dengan irama yang jauh lebih kalem daripada keributan komentar. Investor relations mencatat angka yang mendinginkan kepala: volatilitas turun, bid–ask spread menyempit, serta arus keluar dari reksa dana yang kema

Malam turun seperti penutup panggung, tapi lab audio Inez justru menyalakan semua lampu. Grafik spektrum memenuhi dua layar; gelombang—yang tadi patah—kini mulai rapi seperti pagar yang baru dipasang. Inez memanggil satu teknisi tambahan untuk menjadi saksi proses. “Kita kerja pada salinan,” ia mengulang, menunjuk checksum yang cocok antara image dan file kerja. Prinsipnya sederhana: bersihkan kebisingan, jangan mencipta suara.Pada iterasi ke‑10, bagian yang membandel mengendur. Band‑stop mengiris dengung, denoiser berbasis pembelajaran mesin menyapu sisa bising, lalu spiking kecil di frekuensi menengah dipotong halus. Potongan “midnight dump” akhirnya terdengar utuh, menggandeng kata “jadwal” di belakangnya. Inez memutar ulang tiga kali pada versi asli tanpa penguatan; frasa itu masih ada—lebih samar, tapi ada. Ia menandai timecode dan menyimpan snapshot spektrum sebagai bukti proses.Lalu momen yang ditunggu datang seperti koin yang jatuh tepat di telapak tangan