All Chapters of Tunangan Kontrak Sang CEO: Chapter 61 - Chapter 70

Jika semalam kantor adalah rumah sakit, hari ini ia berubah menjadi studio televisi. Acara pagi membahas memo bertanda tangan “Arga” yang beredar: ada yang menganalisis bahasa, ada yang menayangkan zoom in ke tanda tangan. “Apakah ini perintah langsung CEO untuk membatasi akses Naya?” tanya pembawa acara, memancing komentar pakar yang suka menyimpulkan dari tiga baris konteks.Di war room, Sinta mengatur aliran informasi seperti dirigen. “Kita ulangi pesan inti,” katanya pada tim PR lapangan. “Perusahaan menolak memo palsu, menegakkan firewall hubungan, dan fokus pada program yang diaudit publik.” Ia menempel tiga kalimat itu di sudut layar, agar semua spokesperson tidak berenang terlalu jauh dari pantai. Naya menambahkan FAQ pendek: definisi memo resmi, cara cek kanal, dan alasan kenapa firewall dibutuhkan.Portal bisnis merilis opini: “Hubungan pribadi merusak tata kelola.” Kolom balasan dari pegawai anonim bermunculan: ada yang membela, ada yang menyindir. Di te

Pagi berikutnya, undangan HR mendarat dengan suara dingin—bukan bunyi notifikasi, melainkan cara kalimatnya disusun. Sidang Disiplin — Naya Aghnia. Waktu: esok sore. Lokasi: ruang dewan kecil. Agenda: klarifikasi akses tak wajar, evaluasi peran di kampanye nasional, dan peninjauan pelaksanaan firewall hubungan. Tidak ada kata dugaan, tidak ada frasa sementara. Hanya daftar, seperti daftar belanja. Di rapat koordinasi, Luki datang lebih awal, membawa setumpuk kertas yang tampak penting. “Kita percepat saja,” ujarnya, nada santun yang memahat dorongan. “Pasar butuh kepastian. Kalau Naya bersih, ia akan mengilap di forum resmi. Kalau tidak, perusahaan tidak boleh berlama-lama.” Ia menoleh ke Rama, Kepala Kepatuhan, seperti mengajak berbaris. Rama merapikan dasinya. “Secara prosedur, mempercepat sidang tidak dilarang,” tuturnya netral. “Tapi saya juga butuh memastikan audit digital kita dianggap cukup. Dewan tidak suka ruang abu-abu.” Arga mengetuk ujung

Sejak percobaan penghapusan pada backup HRIS terdeteksi, ruang server menjadi tempat paling sibuk sekaligus paling hening di seluruh gedung. Pintu ganda dipasangi electronic deadbolt tambahan; akses diganti dari sidik jari biasa menjadi kombinasi kartu, PIN, dan verifikasi dua faktor di ponsel satpam senior. Jalur koridor menuju ruang server diberi pita oranye yang tidak mencolok bagi tamu, tetapi cukup menghalangi kebiasaan karyawan lewat sembarangan. Ada daftar baru yang ditempel di pos: siapa pun yang masuk harus ditemani dua orang—bukan satu—dari divisi berbeda. Laila dari HR datang mengecek kesejahteraan tim jaga malam. Ia membagi termos kopi panas dan paket roti, hal sepele yang menciptakan rasa dilihat. “Kalau kalian lelah, beri tahu,” katanya. “Kelelahan adalah pintu lain yang bisa dimanfaatkan orang.” Di sampingnya, Naya menambahkan hal yang lebih praktis: prosedur catatan kecil untuk setiap interaksi di depan pintu—waktu, nama, alasan. “Catatan seperti kuitansi,

Udara di war room terasa seperti benang yang tegang antara dua paku: tidak putus, tapi mudah bergetar. Layar utama menampilkan kolase: foto lobi hotel, mock-up dashboard CSR, potongan komentar warganet, dan di sisi kanan—grafik pola serangan yang selalu singgah di angka 02.00. Arga berdiri di depan layar tanpa jas, kemeja digulung rapi sampai siku. “Ceritakan dari awal,” katanya singkat.Naya mengulang kronologi seperti membaca ledger: alasan hadir, siapa yang hadir, berapa lama, apa yang dibahas, dan bagaimana dokumentasi resmi bisa diminta dari panitia. Ia menutup dengan kalimat yang dirancang tanpa ruang untuk drama: “Tidak ada pertemuan tertutup. Tidak ada kontak fisik. Ada saksi.”Arga menatap cukup lama untuk menyusun dua hal sekaligus: fakta dan rasa. “Aku tidak suka fotonya,” ia jujur. “Aku lebih tidak suka permainan sudut kamera.” Ia menoleh pada Sinta. “Rilis satu paragraf, tanpa menyebut lawan, tanpa menyebut gosip. Tunjukkan mock-up publik.”“S

Pagi datang tanpa tidur. Di ruang rapat kecil, seorang pria berjaket abu-abu dari vendor fasilitas—Bayu—duduk gelisah. Tangan kirinya memegang topi, tangan kanannya meremas-remas kertas. “Saya harus jujur,” ujarnya, mengarahkan pandangannya ke Laila lebih dulu, mungkin karena dari HR lah kata “perlindungan saksi” tadi malam terdengar.“Silakan,” kata Laila. “Tidak ada yang merekam tanpa izin. Tapi kami mencatat.”Bayu mengangguk. “Tiga minggu lalu, saya dapat telepon dari orang yang mengaku dari ‘kantor direksi’. Dia bilang ada rekomendasi pekerja kebersihan tambahan, namanya Yoga—yang semalam diperiksa. Saya disuruh atur jadwalnya malam-malam saja. Katanya, biar tidak ganggu tamu. Saya… saya kira ini biasa. Ada banyak titipan.” Ia menelan ludah. “Orang di telepon bilang ia sepupu staf direksi. Namanya Kenan.”Ruang rapat mendadak dingin. Kenan—KEN-ASSIST, profil yang sering muncul di jejak printer, nama yang menempel pada host DIR-BOARD-02.“Kena