Tunangan Kontrak Sang CEO のすべてのチャプター: チャプター 41 - チャプター 50

Ada hal-hal yang tidak ingin kita akui karena takut bunyinya akan memanggil badai. Tetapi lebih buruk lagi bila badai itu datang dan menemukan kita bersembunyi. Jadi aku memilih mengatakan ini di hadapan Naya dan Arga, di war room yang lampunya terlalu jujur.“Aku pernah meminjam kartu akses,” kataku. Kata-kata itu terasa seperti menuang air es ke sirkuit panas. “Bulan lalu. Dari asisten Luki.”Naya mengangkat wajah, tidak menuduh, hanya menunggu. Arga tidak bergerak; ekspresinya batu sabak yang menunggu ukiran. Daru berhenti mengetik.“Asisten Luki?” ulang Arga.“Namanya Kenan. Atau dipanggil Ken. Ia menawarkan akses sementara ke print room direktorat, katanya cepat saja—aku perlu menjemput mock-up CSR yang tertahan jam 23.00. Kartu akses korporatku dibatasi area. Kami butuh materi untuk morning brief.”“Dan kau setuju,” ucap Naya pelan.“Aku setuju. Aku ambil, kukembalikan tiga puluh menit kemudian. Aku

Aku pernah percaya bahwa beberapa pintu, begitu ditutup, akan tetap tertutup jika engselnya cukup kuat. Kenyataannya: orang yang tepat bisa selalu menemukan kunci. Adela menunggu di ruang rapat kecil lantai investor, duduk tegak seperti biasa, gelang tipisnya bergemerincing halus saat ia memutar gelas air.“Kau datang dengan wajah perang,” katanya, tanpa salam.“Aku datang dengan data,” balasku, meletakkan tablet yang menampilkan screenshot ghost event dengan organizer ‘A. Del—’. “Jadwal hantu. Sinkron dengan sabotase. Nama pengundang… terlihat seperti nama depanmu dan dua huruf pertama.”Ia mendengus. “Nama yang umum. Delapan, Delapan belas, apa pun. Kau mengira aku akan meninggalkan jejak yang konyol?”“Orang yang terlalu percaya diri meninggalkan jejak paling nyata,” kataku. “Dan kau selalu terlalu percaya diri.”Adela menatapku sebentar—pandangan yang dulu kuterjemahkan sebagai keterusterangan, kini

Aku tidak percaya pada ‘maaf’ yang manis tapi kosong. Orang seperti aku—dingin, kata mereka—lebih baik meminta maaf dengan struktur: wewenang, panggung, dan kepercayaan. Jadi kupindahkan kepemimpinan pitch CSR nasional ke Naya. Ia menangkap bukan hanya kosa kata, tetapi irama yang dibutuhkan publik untuk percaya.Pagi hari, aku datang lebih awal ke war room. Sinta menyusun run of show; Daru memasang monitor tambahan untuk live sentiment; legal menyiapkan pernyataan cadangan jika APEX melempar granat. Naya masuk dengan rambut disanggul praktis dan mata yang menyala. “Aku punya dua versi opening,” katanya. “Satu yang menyentuh hati, satu yang menantang kepala.”“Bawa keduanya,” jawabku. “Baca ruangan.”Kami menjalani gladi bersih. Naya memimpin dengan tenang; suaranya meniti garis antara inspirasi dan informasi. Investor perak mengirim pesan singkat

Setelah press scrum dan foto formal dengan backdrop sponsor, kami kembali ke kantor. Euforia standing ovation mudah memabukkan; aku memilih mabuk yang lebih aman: menulis. Di meja, kubuka planner, menggambar garis-garis seperti pagar.1. Batas Profesional (Draft)2. Jam & Ruang: Tidak ada debrief berdua setelah pukul 22.00. Jika perlu, harus di ruang terbuka atau ditemani Sinta/Legal.3. Sentuh & Jarak: Tidak ada sentuhan non-kerja di area kantor. Kecuali darurat keselamatan.4. Komunikasi: Kalimat yang bisa disampaikan lewat dokumen tidak dikirim sebagai pesan pribadi larut malam.5. Panggung Publik: Gestur yang berpotensi dibaca romantis harus dihindari, kecuali staging yang disetujui HR.6. Hak Tolak: Aku boleh menolak adegan PR yang melanggar kenyamanan atau etika, dengan alternatif yang setara hasil.7. Evaluasi: Check-in mingguan ke HR untuk burnout dan audit kekuasaan.Kupotret halaman, kukirim ke Arga da

Aku selalu percaya kamera paling berbahaya bukan yang menghadap, tapi yang memantul. Balkon lantai 43 menatap kaca gedung seberang; di permukaan itu, gambar kami menjadi lukisan yang bisa dipotong siapa saja. Kalau foto “ciuman” bisa lahir dari situ, berarti ada sudut di dalam kantor yang searah dengan pantulan.Aku berjalan mengikuti garis pantulan seolah mengikuti bayangan jam matahari. Karpet koridor mengunyah langkah. Dari balkon, garis itu menumbuk sebuah ruang rapat kecil—ruang tanpa nama yang biasa dipakai staf menelpon klien. Pintunya setengah terbuka, lampunya redup.Di dalam, meja melar dan empat kursi. Di sudut jendela, aku melihat bekas perekat bulat—seperti jejak kaki alat kecil. Aku berlutut; dari sudut itu, balkon terlihat miring cantik di pantulan kaca gedung sebelah. Kalau seseorang menaruh kamera di sini, frame-nya akan menangkap kami tanpa terlihat sebagai line of sight langsung.Sinta muncul di pintu, dua pengawal di belakang. “Kau sendiri?”“Sekarang tidak.” Aku me