Pagi itu, udara kantor rasanya seperti kaca: bening, tetapi setiap sentuhan bisa meninggalkan retak rambut. Di group kecil yang selama ini menjadi nadi koordinasi, sebuah pesan anonim masuk, kalimatnya dingin dan terukur seperti orang yang percaya diri memegang tombol: “Serahkan addendum, turunkan Naya dari panggung, atau rekaman resepsi keluar penuh.” Di bawahnya ada tautan ke drive gelap—masih terkunci, seolah menantikan konsesi.“Ini pemerasan,” ujar Sinta, bahunya kaku. “Kita jangan jadi penonton yang penurut.”Naya menatap layar beberapa detik, kemudian meletakkan ponsel telentang di meja—gestur kecil yang menolak tunduk. “Kita lakukan tiga hal,” katanya. “Satu, holding statement bahwa perusahaan tidak menanggapi pemerasan dan akan melapor. Dua, Legal koordinasi dengan unit cyber extortion. Tiga, kita perkuat konten program supaya linimasa tidak melulu jadi panggung mereka.”Arga mengangguk tanpa banyak kata. “Tambahkan satu lagi,” ucapnya. “Jangan bi
Last Updated : 2025-10-08 Read more