Semua Bab Pelukan Terlarang : Bab 11 - Bab 20

Malam itu, hujan masih berisik mengguyur saat Hana tiba di apartemennya. Suara air yang menetes di kaca jendela seolah berlomba dengan bisingnya kota yang tak pernah benar-benar tidur. Tanpa tenaga, ia melemparkan tas kerjanya ke sofa, lalu menghempaskan diri ke bantal-bantal yang empuk. Lelahnya terasa sampai ke ubun-ubun, tapi ada yang lebih bikin pusing: pikirannya yang nggak mau berhenti muter.Arga.Tatapan matanya.Kedekatan yang makin lama makin susah ditolak. Hana menutup mukanya pakai kedua tangan, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat. Dia sadar sudah masuk zona bahaya. Tapi bukannya kabur, hatinya malah makin terjerat.Tiba-tiba, ponselnya bunyi di meja. Hana langsung menoleh, tapi langsung terdiam begitu lihat nama yang muncul di layar.Arga.Jantungnya langsung berdebar lebih kencang. Sempat ragu, jari-jarinya gemetar sebelum akhirnya menekan tombol hijau.Hallo, Pak Arga? sapa Hana, suaranya kaku banget, sampai dia sendiri sadar.Di ujung telepon, sua

Pagi itu, suasana kantor terasa begitu menyesakkan. Hana melangkah masuk dengan berat hati, berusaha menyunggingkan senyum kepada rekan-rekannya. Namun, kali ini ia tak bisa mengelak dari tatapan tajam yang tertuju padanya. Bisik-bisik sinis seolah menjadi paduan suara yang menghantuinya, membuatnya merasa seolah seluruh dunia menunggunya melakukan kesalahan.Dengan langkah gontai, Hana meletakkan tas di bawah meja, menarik napas dalam-dalam, dan mencoba memfokuskan diri pada laptopnya. Tumpukan laporan di layar seolah menjadi tameng sementara dari gunjingan yang beredar. Namun, hatinya tetap gelisah.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal muncul di layar: Hana, semua orang sudah tahu. Jangan harap bisa menyembunyikan apa pun.Hana menelan ludah, tangannya gemetar saat menutup layar ponsel. Ia merasa seperti terperangkap dalam badai yang siap menelannya hidup-hidup. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok pengirim pesan itu, tetapi tak seorang pun

Deburan suara di kantor hari itu sungguh bikin pening. Jadwal rapat pagi sudah seperti daftar belanja, panjangnya minta ampun. Bisik-bisik tetangga—eh, rekan kerja—pun mulai terdengar, gosipnya belum jelas juntrungannya. Hana masuk ruangan dengan langkah kaki hati-hati dan jantung berdebar. Ia sadar betul, hari ini kesabaran dan profesionalismenya akan diuji habis-habisan.Arga sudah duduk manis di ruangannya saat Hana tiba. Ia cuma melirik sekilas, lalu mengangguk pelan, seolah bilang, Tenang, semua beres. Tapi tetap saja, ketegangan di antara mereka tak bisa disembunyikan. Aura cinta memang susah ditutupi.Di ruang rapat, mata-mata mulai jelalatan ke arah Hana, lebih tajam dari biasanya. Cuitan-cuitan kecil dan lirikan penuh arti sukses bikin jantungnya dugem. Hana nelen ludah, berusaha fokus. Profesional, Hana, profesional, gumamnya dalam hati. Padahal pikirannya malah terbang ke Arga, ke tatapan lembutnya, ke senyum tipis yang selalu bikin dia merasa aman sekalian dag dig dug.Rap

Hana terpaku di kursinya, mata terpaku pada layar laptop yang dipenuhi lautan angka laporan yang membosankan. Pikirannya melayang jauh, tak benar-benar hadir di sana. Sesekali, matanya mencuri pandang ke jam dinding, menghitung detik demi detik menuju rapat sore yang dijadwalkan bersama Arga. Sisa-sisa percakapan mereka semalam masih membekas kuat di benaknya: singkat, sederhana, namun sulit dilupakan. Ia ingat bagaimana nada suara Arga melembut, sebuah kontras mencolok dari ketegasannya yang biasa. Satu kalimat terus terngiang di kepalanya, Kadang, kita tidak bisa mengatur segalanya, termasuk hati. Hana menarik napas dalam, menutup laptopnya sejenak. Jantungnya berdebar kencang, bukan hanya karena perasaan yang tumbuh, tapi juga karena rasa khawatir yang menghantui. Belakangan ini, beberapa rekan kerja mulai menyadari frekuensi kunjungannya ke ruangan Arga. Bisik-bisik mulai terdengar, tatapan curiga dilemparkan, bahkan senyum sinis terlukis di wajah mereka. Sore itu, sebelum rapa

Hana terdiam di depan cermin kamar mandi kantor, meneliti penampilannya. Wajahnya lesu, lingkaran hitam mulai menghiasi bawah mata, dan bibirnya pecah-pecah. Dengan gerakan cepat, ia memoleskan sedikit bedak di pipi, berupaya menyembunyikan jejak-jejak kelelahan yang kentara. Namun, ia sadar bahwa bukan hanya raganya yang merasakannya. Hatinya jauh lebih remuk. Sejak percakapan terakhir yang menegangkan dengan Arga, Hana merasa seperti seorang pesirkus yang berjalan di atas tali yang licin. Setiap gerakannya terasa diperhatikan, setiap langkahnya berpotensi menjatuhkan. Meskipun Arga sudah berulang kali mengingatkannya untuk menjaga profesionalisme, perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa seperti api dalam sekam, sesuatu yang tidak bisa dipadamkan hanya dengan kata-kata hampa. Kalau terus begini, aku yang akan hancur lebih dulu, bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Maya muncul dengan tas makeup di tangannya. Begitu melihat Ha