All Chapters of Pelukan Terlarang : Chapter 31 - Chapter 40

Lampu-lampu neon di lantai delapan masih menyala terang meski jarum jam sudah melewati pukul sembilan malam. Suasana kantor yang biasanya riuh oleh dering telepon dan obrolan antar tim kini sepi, hanya menyisakan bunyi ketikan keyboard dan dengung pendingin ruangan. Beberapa meja sudah kosong, kursi-kursi ditinggalkan begitu saja dengan cangkir kopi yang masih menyisakan ampas di dasar.Namun, di sisi lain ruangan, Hana masih duduk tegak di depan layar laptop. Matanya mulai perih karena menatap angka-angka pada spreadsheet berwarna hijau dan biru yang terus ia koreksi. Laporan proyek lintas divisi yang baru saja diberikan Pak Surya menuntut presisi, dan ia tahu kesalahan sekecil apa pun bisa dijadikan bahan untuk menjatuhkannya.Di meja seberang, Adrian berdiri sambil menekuk tubuhnya ke layar monitor. Kemeja putihnya sudah tampak kusut, lengan digulung sampai siku. Rambutnya yang biasanya rapi mulai acak karena sering disentuh tangan. Meski begitu, sikapnya tetap tenang. Sesekali ia

Hana menatap layar laptopnya, jari-jarinya menari di atas keyboard, tapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Suasana kantor yang biasanya biasa saja kini terasa seperti arena pengawasan. Beberapa rekan berjalan melewati mejanya dengan senyum tipis yang aneh, seolah ingin menebak apa yang sedang terjadi di antara dirinya dan Adrian. Beberapa pura-pura sibuk mengetik, tapi tatapan mata mereka menempel pada Hana seperti nyala api yang menguji ketahanan kulit. Hana menelan ludah beberapa kali, menarik napas dalam, dan mencoba menenangkan diri.Adrian muncul di sisi mejanya, mencondongkan badan pelan. “Kau terlihat tegang,” katanya, suaranya rendah tapi cukup jelas terdengar di antara deru mesin pendingin ruangan.Hana menghela napas panjang. “Mungkin… ya. Mereka mulai bertanya-tanya soal kita,” jawabnya pelan, tangannya menepuk meja sebentar untuk menenangkan getaran yang muncul.Adrian menepuk bahunya sebentar, memberi sinyal kecil, “Biarkan saja. Kita tahu kenyataannya. Tetap fokus pada

Keesokan paginya, Hana tiba lebih awal dari biasanya. Gedung masih sepi, hanya suara langkahnya sendiri yang bergema di lorong. Ia menatap layar ponsel sebentar, membaca ulang email HR dari semalam. Nada pesannya formal, tapi ada ketegangan yang jelas terasa: “Klarifikasi lebih lanjut mengenai hubungan profesional Anda dan Adrian. Harap hadir tepat waktu.”Hana menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini bukan sekadar formalitas. Gosip yang beredar sudah sampai telinga manajemen, dan sekarang mereka harus menghadapi konfirmasi resmi.Adrian muncul beberapa menit kemudian, membawa secangkir kopi hangat dan senyum tipis yang selalu membuat Hana sedikit lega. “Kamu siap?” tanyanya.Hana menatapnya, menahan rasa gugup. “Sepertinya siap, tapi… ini akan menegangkan,” jawabnya.Mereka berjalan bersama ke ruang HR. Di luar pintu, beberapa senior terlihat menunggu, wajah mereka penuh perhatian. Ada rasa dingin yang mengambang di udara, tidak bisa diabaikan. Hana menelan ludah. A

Adrian sudah menunggu di dekat lift, memegang payung. “Hujan ini akan membuat semua orang telat. Untung kita datang lebih awal,” katanya sambil tersenyum tipis. Hana menatapnya, masih tegang. “Aku tidak suka rasa tegang ini. Rasanya seperti semua mata menatap kita sejak kemarin.” Adrian menepuk bahunya. “Kita fokus pada fakta, bukan tatapan. Jangan biarkan tekanan menguasai kita.” Mereka naik ke lantai kerja, dan begitu pintu lift terbuka, mereka melihat beberapa rekan berdiri di koridor, menatap seolah menunggu sesuatu. Hana menelan ludah. “Sepertinya bisik-bisik semalam menyebar lebih luas,” bisik Hana. Di meja kerja, tumpukan dokumen menanti. Hana mulai menelusuri angka demi angka, sementara Adrian duduk di sampingnya, menunjuk beberapa detail. “Lihat di sini,” kata Adrian sambil mencondongkan badan. “Angka ini berbeda dengan revisi terakhir. Bisa jadi kesalahan atau… sengaja diubah.” Hana menatap layar. “Kalau sengaja diubah, itu jelas jebakan. Kita harus cek seluruh alur s

Suasana kantor siang itu seperti sarang lebah yang dibongkar. Semua orang sibuk, berlari kecil dari satu meja ke meja lain, suara sepatu beradu dengan lantai marmer, dan nada bicara yang lebih tinggi dari biasanya. Udara penuh dengan campuran aroma kopi, kertas baru dicetak, dan sedikit wangi parfum yang terbawa dari berbagai pegawai. Pendingin ruangan bekerja keras, tapi hawa tegang membuat udara tetap terasa panas.Hari itu ada presentasi besar di hadapan direksi. Semua orang tahu, presentasi ini akan menentukan arah proyek jangka panjang perusahaan. Tidak heran sejak pagi, suasana sudah seperti persiapan perang.Hana duduk di kursinya, menatap layar laptop dengan mata yang mulai perih. Slide presentasi sudah berulang kali ia revisi, huruf, warna, grafik—semuanya harus sempurna. Tapi konsentrasinya pecah setiap kali telinganya menangkap suara-suara kecil yang tidak seharusnya didengar.“Eh, lihat deh… si Hana makin sering deket sama Pak Adrian, ya?” bisik seorang staf perempuan dari