“Oh ya, Ga.” Nadine mengaduk kopinya pelan, matanya menatap cairan hitam itu tanpa benar-benar melihatnya. “Aku baru inget, kemarin kamu nggak ketemu Mas Rhevan?”Begitu nama itu terucap, rahang Dirga mengeras seketika. Bahunya menegang tanpa sadar, dan ekspresi santainya runtuh secepat kaca pecah.“Enggak.” Suaranya dingin dan pendek. Ia bahkan tidak mengangkat kepala. “Dan nggak mau ketemu juga.”Nadine mendongak, sedikit terkejut dengan perubahan sikap itu. “Kenapa?”Dirga mendengus kecil, senyumnya miring—pahit. “Khawatir kalau ketemu dia, aku jadi khilaf.”“Khilaf gimana?” tanya Nadine pelan, alisnya bertaut.“Khilaf pengen gebukin dia,” jawab Dirga datar, seolah itu hal paling wajar di dunia.Nadine spontan menegakkan punggungnya. Matanya membesar sepersekian detik sebelum ia menahan napas. “Jangan ngotorin tangan kamu buat orang seperti dia, Ga,” ucap Nadine lembut tapi tegas.Dirga akhirnya mengangkat wajahnya. Tatapannya tajam—penuh emosi yang selama ini ia tekan.“Kalau itu
Última actualización : 2025-12-06 Leer más