All Chapters of Gerilya Di Balik Seragam: Chapter 61 - Chapter 70

Batalyon Lapis Baja Belanda Kelima dipindahkan ke area sekitar Benteng Vredeburg setelah lebih dari setengah jam. Komandan, Mayor Van Dijk, agak bingung dengan perintah ini. Pasukan lapis bajanya baru saja berhasil menembus garis pertahanan pertama tentara Republik di pinggiran kota. Seharusnya mereka melanjutkan serangan cepat ke pusat kota, namun tiba-tiba diperintahkan mundur sejenak dan diarahkan ke sektor ini. Batalyon lapis baja itu kini sudah siap untuk menyerang kembali. Hal semacam ini jarang terjadi di tentara Belanda yang biasanya menekankan kecepatan gerak. Namun, setelah meninjau medan sekitar, Mayor Van Dijk akhirnya mengerti alasan Kolonel Van Kleijs. memberi perintah demikian. Dari sisi utara, ada jalan raya utama dan rel kereta yang menghubungkan Yogya dengan Magelang, sementara di selatan terdapat perkampungan padat serta jalur menuju Bantul. Bila benteng dan titik pertahanan di sektor ini tidak segera dilumpuhkan, pasukan Republik bis

Tentara Belanda menderita kerugian besar dalam pertempuran ini. Dari tujuh kendaraan lapis baja yang maju, hanya dua yang berhasil lolos, itupun dengan kerusakan parah. Delapan kendaraan lainnya terhantam ledakan bom molotov dan granat rakitan, meski tidak seluruhnya hancur, namun cacat berat. Mayor Van Dijk segera meninggalkan kendaraan komandonya dan kabur ke belakang garis pertahanan. Itu langkah yang cerdas, sebab dalam kondisi seperti ini kendaraan lapis baja justru berubah menjadi beban. Di tengah asap dan hiruk-pikuk, prajurit Belanda yang bertahan pun sulit membedakan mana lawan, mana kawan bahkan jalannya pun terhalang oleh pasukannya sendiri. Kendaraan yang melarikan diri menabrak apa saja di depannya, meninggalkan lintasan penuh kain dan tubuh bergelimpangan. Tak seorang pun tahu berapa banyak prajurit Belanda yang mereka gilas demi bisa lolos. Beberapa awak kendaraan sempat panik dan lupa meledakkan mesin sebelum ditinggalkan.

Ini seharusnya menjadi penilaian yang wajar. Dikepung berarti pos pertahanan telah kehilangan fungsinya. Pada saat yang sama, mereka kehilangan kontak dengan pasukan utama dan tidak memiliki pasokan logistik. Namun, ketika Mayor Wiratmaja mengajukan permintaan untuk mundur ke markas, permintaannya ditolak. “Tidak, Mayor!” kata Kolonel Pranoto, “Tetaplah bertahan dan jangan mundur selangkah pun. Kita harus menghadang mereka!” “Dia berbohong!” kata Mayor Wiratmaja kepada Komisaris Zulfan. “Saya tidak tahu mengapa Kolonel melakukan itu, tapi saya rasa dia tidak mengatakan yang sebenarnya!” “Tenang saja, Mayor,” jawab Zulfan dengan nada menenangkan. “Mungkin Kolonel benar-benar bisa menghentikan serangan Belanda!” “Dengarkan suara tembakan itu, Saudara!” Mayor Wiratmaja mengangkat kepalanya ke arah belakang. “Itu datang dari belakang kita. Bahkan pesawat Mustang dan B-25 bisa menukik dari arah sana... Itu artinya

Pada pukul delapan malam itu, langit Yogya sudah gelap gulita.   Tiba-tiba beberapa kilatan merah membubung ke angkasa, lalu suara letusan keras terdengar, diikuti hantaman mortir ke arah timur kota.    “Mereka sudah di sini! Siapkan pertahanan!” teriak Mayor Van Dijk lantang, memerintahkan pasukannya maju bergantian sambil menembakkan suar untuk menerangi sekitar dengan cahaya putih menyilaukan.   Meskipun tank Belanda tidak terlalu efektif dipakai malam hari, dengan bantuan suar yang ditembakkan terus-menerus, tank dan bunker bisa terhubung membentuk garis pertahanan baja. Mayor Van Dijk yakin, tak ada pejuang republik yang bisa bertahan hidup.    “Ayo maju, kalian pemberontak!” Van Dijk menggertakkan giginya. “Akan kuberikan kalian pandangan yang jelas!”   Komando ini sekaligus menjadi kesempatan bagi Van Dijk melampiaskan dendam. Ia ditugaskan untuk memisahkan pasukan gerilya republik dari induknya dan me

  Jenderal Van Kleijs, segera meminta ajudannya untuk mengirim bala bantuan setelah menerima laporan Mayor Van Dijk.   Namun saat itu sang ajudan justru dilanda dilema.   “Jenderal, ke mana bala bantuan harus dikirim?” tanyanya ragu. “Kita bahkan tidak tahu posisi mereka sekarang!”   “Selatan!” jawab Van Kleijs, tegas. “Ke mana pun arah tembakan!”   Sang ajudan terdiam sejenak, lalu dengan enggan mengangguk. Ia pun menyalurkan perintah itu ke unit-unit terdekat.   Tapi ia tahu, perintah itu lebih mudah diucapkan daripada dijalankan.   Malam itu benar-benar gelap. Pesawat pengintai tidak bisa dikerahkan. Bahkan pasukan Belanda yang berjaga di garis pertahanan pun mungkin tidak menyadari bahwa pejuang republik sedang menyusup tepat di belakang mereka.   Apalagi soal “lokasi tembakan” di garis depan panjang seperti itu, suara rentetan senapan dan ledakan hampir tidak pernah berhenti