Hasrat Liar Paman Suamiku のすべてのチャプター: チャプター 61 - チャプター 70

Pagi itu Citra memutar otak memikirkan bagaimana caranya bisa menumpang Erik lagi tanpa membayar banyak. “Pak Erik aku numpang di depan ya.” Pintanya saat mereka hendak berangkat. “Aku buru-buru kalau kamu mau kita langsung saja ke kantor tanpa harus berhenti di depan kompleks.” ujar pria itu sambil tersenyum licik melirik Citra yang kini terdiam.“Kamu bingung memikirkan cara kan?” Batinnya tersenyum senang. Citra menurut saja kemudian naik ke dalam mobil Erik. “Pak Erik meskipun kita hanya nikah-nikahan tapi kamu tetap harus menafkahiku.” Erik yang hendak menyalakan mobil jadi bergeming kemudian dia menatap Citra dengan tatapan heran. “Kamu minta nafkah? Aku kira kamu tidak memerlukan nafkah dariku,” sahut Erik. “Sebenarnya dari gajiku bisa-bisa saja aku mencukupi kebutuhanku tapi kamu sebagai pria tentu ingin bertanggung jawab terhadap istrimu kan?” Gombalan maut Citra membuat Erik terbujuk tapi dia juga ambigu dengan kalimat sang istri. “Sudahlah, kamu ingin nafkah? Baikla

Wanita itu menurut, dia kemudian menghubungi rumah sakit dan meminta salah satu dokter datang ke rumahnya. “Sudah.” Kata Citra. Erik rebahan sambil memejamkan mata, tubuhnya benar-benar lemas karena keluar masuk kamar mandi.Melihat suaminya Citra menjadi panik, rasa takut perlahan menghampirinya. “Pak Erik.” Tangan Citra menggoyang tubuh suaminya. “Apa?!” Sahut Erik. Mendengar itu dia jadi lega, tapi Citra juga kasihan melihat Erik seperti ini. Biasanya kalau orang diare pertolongan pertama adalah memberinya oralit, karena tidak ada oralit di rumah, akhirnya Citra membuatnya sendiri. Setelah oralitnya jadi dia kembali naik ke atas dan meminta Erik untuk meminumnya. “Pak Erik minum dulu larutan ini bisa mengurangi rasa lemas anda.” Citra duduk di tepi ranjang sisi Erik. Perlahan mata Erik terbuka, dia bangkit dan bertanya minuman apa yang dibawanya. “Oralit saya buat sendiri.” Rasa lemas yang menyiksa membuat Erik menurut saja karena memang biasanya oralit mampu menggantika

“Ayahku sudah meninggal, beliau ingin aku dan David bersatu itulah wasiat terakhirnya.” Air mata wanita itu menetes. Raut wajah Rendra berubah, “Astaga, maaf Anisa kami tidak pernah mendengar kabar tentang keluargamu jadi kami tidak tahu.” Rendra turut berduka cita atas meninggalnya ayah Anisa. Wanita itu mengangguk memang semenjak pindah keluar kota mereka jarang mengirim kabar kepada keluarga David. “Tolong bantu aku bersatu dengan David Rendra, menjadi istri kedua pun tak apa.” Anisa memohon. Mendengar itu Rendra jadi bingung, David begitu mencintai Laura jadi tidak mungkin dia menikah lagi.“Anisa paman sangat mencintai istri jadi buang jauh-jauh niatmu.” Sahut Rendra. “Ini wasiat Ayah, aku harus melaksanakannya.” Anisa menatap Rendra dengan lekat kembali memohon supaya pria itu membantunya. Melihat Anisa terbesit pikiran pikiran kotor di kepala Rendra mungkin dengan menyatukan David dan Anisa dia bisa kembali lagi bersama Laura. Namun sesaat kemudian pria itu menggelengkan

“Apa! Dia istrimu?” suara tawa Andra menggema seolah tak percaya dengan apa yang barusan Erik katakan. “Mana mungkin! dia cinta mati padaku selama tiga tahun kami terus bersama.” Kepercayaan dirinya sangat besar, padahal malam itu Citra benar-benar meninggalkannya.Citra yang kini tertawa, ternyata mantan kekasihnya begitu percaya diri. Perlahan dia berjalan mendekat ke arah Andra. “Lihatlah.” Dengan bangga, mengira kalau Citra ingin kembali padanya padahal yang ingin dilakukan citra adalah menyadarkannya. Plak…Pukulan keras mendarat di pipinya, rasa panas dari pukulan Erik belum hilang kini Citra menambahkannya.“Dulu aku memang bodoh mencintai pria mokondo sepertimu!” Citra menunjuk Andra dengan jarinya. Kesal, Andra juga mengangkat tangannya hendak membalas Citra namun saat tangan itu hendak mendarat Erik segera bertindak. “Berani menyakitinya, kucincang dirimu!” Erik mendorong tubuh Andra hingga terjatuh lagi. Pria itu meringis kesakitan. “Kamu pasti menyesal Citra, awas

“Mas Bibi izin pulang kampung selama seminggu.” Lapor Laura lalu naik ke atas tempat tidur. “Oh ya sudah nanti aku akan menghubungi Yayasan agar mengirim art baru, lagian kasihan juga Bibi sendirian mengurus rumah ini.” David menatap Laura yang sudah berada di bawah selimut. Wanita itu membuka selimut, mendekatkan tubuhnya ke tubuh Sang suami.” Nggak perlu Mas lagi pula hanya seminggu saja, bukankah kamu juga selalu menggunakan jasa bersih-bersih?” Mendapati pernyataan sang istri David mengerutkan alisnya, kalau tidak ada pembantu di rumah lantas siapa yang memasak dan melakukan pekerjaan rumah? David menggenggam tangan istrinya, dia tahu pasti Laura sayang dengan uangnya tapi dia juga tidak ingin Laura yang harus capek mengurus rumah. “Sayang aku tidak ingin kamu lelah mengurus rumah.” Tatapan David berubah sendu. Laura menggeleng bukan dia yang akan mengurus rumah tetapi Anisa. “Kan ada Anisa Mas.” Celetuknya. “Sembarangan mana mungkin dia mau.” David kurang setuju. Anisa a