All Chapters of Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi: Chapter 141 - Chapter 150

Setelah menerima laporan dari Leon dan memastikan Marco sudah dipindahkan ke Washington secara diam–diam, Jayden segera menghubungi dokter spesialis yang dipercaya keluarga Carter untuk memeriksa kondisi mental Marco. Hasil pemeriksaan itu benar–benar mengejutkan.Marco meracau bukan karena trauma penyekapan, melainkan karena ia mengalami gejala sakau akibat kecanduan obat terlarang. Selama berhari-hari disekap oleh kelompok Jeffrey, tubuhnya terbiasa mendapat pasokan zat haram itu. Begitu berhenti total, efek putus obat membuat kondisi mentalnya hancur—halusinasi, gelisah ekstrem, hingga sering mengigau tidak jelas.Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya yang dapat dipercaya. Bahkan saat dokter mencoba bertanya, Marco hanya menggigit bibir sendiri dan memukul kepalanya seolah ingin menendang semua suara yang berputar di otaknya.Akhirnya Jayden memutuskan untuk memasukkan Marco ke pusat rehabilitasi ketat. Dengan kondisi setengah gila seperti itu, bagaimana mungkin ia bisa

Dua hari telah berlalu, kini kegiatan camping TK selesai. Pagi itu halaman sekolah ramai oleh para orang tua yang menunggu kedatangan bus. Suasana penuh hiruk-pikuk, sebagian terlihat antusias, sebagian lagi terlihat tegang karena merindukan anak mereka setelah dua hari berpisah.Melanie berdiri di samping Dominic dengan tangan saling terkait. “Semoga mereka menikmati perjalanannya,” gumam Melanie, meski wajahnya tetap menunjukkan kekhawatiran khas seorang nenek.“Anak-anak itu jauh lebih kuat dari dugaan kita,” jawab Dominic tenang.Tidak lama kemudian, suara klakson bus terdengar. Bus sekolah berhenti perlahan di depan gerbang, membuat para orang tua segera mendekat. Dari dalam, anak-anak turun berbaris sambil mencari wajah keluarga mereka.Sera adalah yang paling bersemangat. Begitu melihat Melanie dan Dominic, ia langsung berlari kecil sambil melambaikan tangan. “Grandma! Grandpa!”Melanie segera merendah, membuka kedua tangannya. “Sayang! Ke sini!”Begitu sampai, Sera memeluk ked

Richard berdiri di samping ranjang rumah sakit dengan wajah muram. Hatinya dipenuhi amarah yang telah ia pendam sejak putrinya jatuh dalam skandal besar dan istrinya terbaring koma tanpa perkembangan berarti. Dengan rahang mengeras, ia mengeluarkan ponsel dari saku dan menekan nomor yang sudah tersimpan.“Cari waktu yang tepat,” ucapnya pelan namun penuh tekanan. “Aku ingin perempuan itu diberi pelajaran. Jangan sampai ada celah. Mengerti?”Suara dari seberang menjawab singkat, “Baik, Tuan Richard.”“Sasaran kalian hanya satu. Istri Jayden Carter. Buat dia merasakan akibat dari menghancurkan hidup putriku.”Begitu sambungan terputus, Richard mengembuskan napas panjang. Namun di sisi lain ruangan, tubuh Veronica yang terbaring dengan berbagai alat medis perlahan menunjukkan reaksi. Dalam komanya, kata-kata Richard masuk seperti suara jauh yang menggema di ruang kosong.“Aku tidak bisa diam… jangan sakiti dia….”Jika saja Veronica dapat berbicara, ia pasti berteriak. Seluruh tubuhnya se

Pidato Celline berakhir dengan kalimat penutup yang sederhana namun hangat. Tepuk tangan langsung memenuhi seluruh aula. Para tamu tersenyum bangga, memuji kerja keras tim Lucarelli Moda yang berhasil mengadakan acara megah tanpa hambatan.Di barisan depan, si kembar dan Nicholas bertepuk tangan jauh lebih antusias dibanding tamu dewasa. Sera bahkan menghentakkan kedua telapak tangannya dengan percaya diri, sambil menoleh ke kanan dan kiri seakan ingin memastikan semua orang melihat bahwa perempuan yang berdiri di panggung itu adalah Mommy-nya.Beberapa tamu di belakangnya tersenyum geli.“Lucu sekali,” bisik seorang wanita.“Energinya tidak habis-habis,” tanggap pria di sebelahnya.Nicholas mengikuti Sera, meski tepuk tangannya tidak seagresif sepupunya. Bastian tampak lebih tenang, tetapi sorot matanya menunjukkan kebanggaan kecil yang berusaha ia sembunyikan.Celline menatap anak-anak sesaat dan memberikan senyum halus. Ia merasa lega pidatonya berjalan lancar. Setelah menaruh mikr

Lorong rumah sakit tampak lebih lengang dibanding beberapa jam sebelumnya, tetapi ketegangan masih menggantung pekat di udara. Keluarga Carter tetap duduk di kursi panjang depan Emergency Room, menunggu kabar apa pun yang keluar dari balik pintu ganda itu. Dominic mondar-mandir tanpa henti, sementara Melanie terus menggenggam rosario kecil yang tidak pernah lepas dari tangannya sejak tiba. Leon berdiri tegak di sisi mereka, sesekali memeriksa ponsel, memastikan timnya mengamankan area gedung tempat kejadian.Jayden duduk di kursi paling ujung. Perban di kepala dan bahu membuatnya tampak lebih pucat daripada sebelumnya. Ia memeluk ketiga anak-anak erat—Sera di pangkuannya, Bastian dan Nicholas di sisi kiri dan kanan tubuhnya. Suara tangis mereka sudah mereda menjadi sesenggukan kecil, tetapi rasa takut masih sangat jelas tergambar di mata mereka.Waktu bergerak lambat. Lima menit terasa seperti lima puluh. Satu jam terasa seperti malam panjang tanpa akhir. Jayden berulang kali menatap